Mohon tunggu...
Meidy Y. Tinangon
Meidy Y. Tinangon Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

www.meidytinangon.com| www.pemilu-pilkada.my.id| www.konten-leadership.xyz| www.globalwarming.blogspot.com | www.minahasa.xyz| www.mimbar.blogspot.com|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Buruh Mengajarkan Hidup, "Tak Harus Kaya untuk Bersyukur, Berkorban dan Berbagi!"

30 April 2020   23:17 Diperbarui: 1 Mei 2020   19:55 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika membayangkan tentang buruh, biasanya yang terlintas di benak kita adalah kesusahan hidup, kasarnya pekerjaan hingga masyarakat kelas bawah dalam strata sosial. 

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan buruh sebagai orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Ada buruh harian, buruh musiman hingga buruh kasar.  

Pendek kata, buruh jauh dari kesan kaya dan sejahtera. Benarkah demikian?

Di kampungku, banyak masyarakat yang hidup dengan profesi sebagai buruh, ada tukang bangunan, buruh bengkel hingga tukang batu. Beberapa diantaranya kukenal. Benar mereka tidak kaya jika dibandingkan dengan profesi lainnya seperti pengusaha ataupun pegawai negeri. Rata-rata upah harian mereka adalah Rp. 100.000 hingga Rp. 150.000, itupun tergantung jika ada pekerjaan dari orang yang akan membayar tenaga dan keahlian mereka.

Sekalipun mereka tidak kaya dan  bukan kategori orang dengan jabatan, tapi buruh itu mulia dan sejahtera. Kok bisa? bukankah kebahagian dan kesejahteraan diukur dengan uang atau penghasilan? dengan harta dan kekayaan?

Tidak demikian bagi kaum buruh di kampungku. Mereka, menurutku sejahtera sekalipun tak berduit. Mereka masih bisa tersenyum  dan sangat menikmati hidupnya, tak seperti si kaya dibalik terali besi. Ada orang kaya tak mampu membuat anaknya selesai sekolah. Tapi para buruh ini, dalam susahnya, ada yang mmmpu sekolahkan anak hingga tamat kuliah.

Mengapa mereka saya sebut bahagia dan sejahtera di banding "kakak kelas" profesi lain dalam sistem sosial?

Pertama, mereka sangat menghargai waktu. Bagi mereka waktu adalah anugerah, kesempatan dan tanggung jawab untuk berkarya. 

Kedua, mereka mensyukuri hidup apa adanya. Meskipun ada keinginan untuk mendapatkan kekayaan, namun mereka sadar, 

hidup sesungguhnya bukan soal kekayaan tapi bagaimana bertanggung jawab terhadap anugerah kehidupan. Bertanggung jawab terhadap waktu, tugas, keluarga, masyarakat dan agama. Mereka mensyukuri apa adanya hidup dan dalam susahnya mereka, mereka masih mampu berkorban dan berbagi. 

Yah berkorban dan berbagi adalah hal ketiga, yang membuat mereka damai dan sejahtera lahir dan batin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun