Dikala itu, istilah literasi belum sepopuler saat ini, meskipun Facebook  kala itu sudah berusia sekira 6 tahun 3 bulan sejak di-launching Februari 2004,  sedangkan kompasiana.com  baru berusia 1 tahun 5 bulan sejak kemunculannya pertama kali sebagai blog sosial pada  22 Oktober 2008.Â
Pada Waktu itu, 7 Mei 2010 hampir 10 tahun lalu, bertempat di Hotel 'Toudano' - Kota Tondano Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara sekelompok anak muda bermodalkan "mapalus" - kearifan lokal kerjasama orang Minahasa, 'nekad' meluncurkan  Majalah Kebudayaan yang diberi nama "Waleta Minahasa" (Rumah Kita Minahasa).
Waleta Minahasa diklaim sebagai majalah kebudayaan pertama di Sulawesi Utara. Momentum launching tersebut dirangkaikan dengan diskusi budaya bertajuk "Membongkar Sentralisme dan Imprealisme Kebudayaan".Â
Hadir dalam momen bersejarah tersebut sejumlah tokoh masyarakat Minahasa, budayawan, sastrawan dan aktivis mahasiswa. Kehadiran majalah kebudayaan ini mendapat sambutan yang hangat dan antusias dari kalangan muda dan tokoh-tokoh Minahasa.Â
Dalam catatan digital di blog saya www.meidytinangon.com,  Oklen Waleleng, SH, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua DPD KNPI Minahasa  mengatakan bahwa majalah yang ditunggu-tunggu oleh tou (orang) Minahasa kini telah hadir.Â
"Saya menyambut dan memberi apreasiasi kehadiran majalah kebudayaan Minahasa ini. Lebih membanggakan lagi, kehadiran majalah ini dibidani oleh orang-orang muda. Dengan demikian, ini membuka wawasan kita, bahwa hal berkebudayaan itu tidak melulu hanya dari kalangan tua," ujar Oklen ketika didaulat memberi sambutan pada acara peluncuran tersebut.
Dokter Bert Adriaan Supit, tokoh masyarakat Minahasa yang konsern dengan kebudayaan Minahasa menyatakan apreasiasinya atas terbitanya majalah Waleta Minahasa. Tapi, dia mengingatkan agar majalah ini tidak hanya sesaat.Â
"Saya juga pernah berkecimpung dalam penerbitan media. Dulu saya punya media cetak yang fokus pada politik keminahasaan. Namun, idealisme ternyata tidak cukup. Harus juga diimbangi dengan manajemen pemasarannya," ujar Supit berapi-api.
Majalah Waleta Minahasa memfokuskan materi peneribatannya pada nilai, simbol, sejarah  serta kekayaan alam Minahasa.
Majalah Waleta Minahasa menyediakan ruang sastra dan seni. Terbitnya sebulan sekali. Redaksi majalah Waleta Minahasa  kala itu berkomitmen untuk menjadikan majalah ini sebagai referensi utama kebudayaan Minahasa.
Prof. Johny Weol, Ketua Forum Buku Sulut saat itu mengatakan bahwa majalah Waleta Minahasa merupakan majalah budaya yang terpadat dan memiliki gaya khas dalam penyajiannya.Â
"Ini majalah yang menurut saya luar biasa bagus. Padat isinya dan penyajiannya juga menarik. Terlebih isi materinya yang kita sebagai tou Minahasa sudah menantikannya dari lama,"Â ujarnya.
Saya dipercayakan sebagai Pemred Majalah Waleta Minahasa. Teringat, Â saya sempat mengatakan bahwa majalah ini hadir dari komitmen bersama antara dua kelompok gerakan anak muda Minahasa yaitu Mawale Movement dan Gerakan Minahasa Muda (GMM) untuk menghadirkan media bernafaskan budaya bagi masyarakat Minahasa. Kala itu, saya adalah juga Ketua Dewan Penggerak GMM.
"Ini adalah satu bentuk kongkrit kami dalam usaha menggali dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan Minahasa. Media penting sebagai alat perlawanan terhadap imprealisme kebudayaan," ungkapku saat itu.
Sayang sekali, Waleta Minahasa kini tidak terbit lagi. Dia hanya menjadi saksi bisu sejarah bahwa di saat itu, ada anak-anak muda yang melakukan gerakan literasi kebudayaan untuk membangun peradaban.
Meskipun tak terbit lagi, namun Waleta Minahasa masih hadir sebagai spirit yang menginspirasi para pegiat literasi di Minahasa. Waleta Minahasa telah menjadi pioner untuk hadirnya media online atau media daring dengan kepedulian terhadap kebudayaan atau peradaban manusia.
#LiterasiAdalahInspirasi #SejarahAdalahCermin #KebudayaanAdalahSemangat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H