Mohon tunggu...
Meidy Y. Tinangon
Meidy Y. Tinangon Mohon Tunggu... Lainnya - Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

www.meidytinangon.com| www.pemilu-pilkada.my.id| www.konten-leadership.xyz| www.globalwarming.blogspot.com | www.minahasa.xyz| www.mimbar.blogspot.com|

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Merayakan 50 Tahun Hari Bumi dengan Kesunyian

21 April 2020   23:12 Diperbarui: 22 April 2020   17:52 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rabu, 22 April 2020, merupakan tahun ke-50 peringatan Hari Bumi (Earth Day).  Tahun ini, kita memperingati hari bumi dengan situasi yang memprihatinkan dengan terjadinya pandemi global Corona Viruses Disease - 2019 (Covid-19).  

Sebagai upaya pencegahan transmisi  antar manusia dari varian baru virus Corona tersebut maka strategi Social dan Physical Distancing dengan tagar #StayAtHome atau #DirumahAja menjadi pilihan. 

Alhasil, aktivitas di luar rumah dibatasi, pertemuan online/virtual menjadi pilihan menggantikan pertemuan offline. Rumah menjadi ramai, sekeluarga kumpul bersama, tapi di luar rumah, sunyi !  Kantor sunyi, mall sepi, hotel banyak yang menghentikan aktivitasnya. Jalanan pun sunyi. 

Pandemi global Covid-19  hadir ketika bumi masih bergumul dengan perubahan iklim (Climate change) dan pemanasan global (Global warming). 

Fenomena yang paling dirasakan dalam konteks perubahan iklim adalah suhu bumi makin panas. Tema peringatan hari bumi tahun ini seperti dirilis earthday.org adalah Climate Action. Perubahan iklim dianggap masih menjadi tantangan besar planet bumi. 

foto 1 | edf.montgomery.nj.us
foto 1 | edf.montgomery.nj.us
Memang, penyebaran Covid-19 di Indonesia bukan karena faktor perubahan iklim, sebagaimana rilis ilmiah BMKG 3 April 2020 (baca: Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Pandemi COVID-19). 

Dalam rilis yang berasal dari kajian ilmiah dan penelitian terbaru, BMKG menyimpulkan: 

"Analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelilitian di atas mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang linggi, tapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke dua. Meningkatnya kasus pada gelombang ke dua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial."

Foto 2 | forbes.com
Foto 2 | forbes.com
Disebutkan pula bahwa kondisi cuaca/iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah COVID-19.  

Namun fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia  diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia. 

Sekalipun demikian, perubahan iklim masih menjadi tantangan besar kita dan karenanya perlu mendapatkan atensi yang besar. 

Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM merilis informasi bahwa 80 Persen Bencana di Indonesia Akibat Perubahan Iklim (https://ugm.ac.id/id/berita/8496-80-persen-bencana-di-indonesia-akibat-perubahan-iklim). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun