Mohon tunggu...
Meidita Andrilia
Meidita Andrilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak II Nama: Meidita Andrilia II NIM: 55521110042 II Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana

Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak II Nama: Meidita Andrilia II NIM: 55521110042 II Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2: Cara Memahami Peraturan Audit Perpajakan Pendekatan Seni

9 November 2022   22:29 Diperbarui: 9 November 2022   22:44 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TEORI KEADILAN
Masalah keadilan telah lama menjadi fokus para filsuf Yunani. Pemikiran seperti itu didorong oleh kekacauan sosial, konflik internal, sering adanya pergantian pemerintahan, banyak kezaliman dan kesewenang-wenangan. Humerus berpendapat bahwa keadilan masih identik dengan perintah dan otoritas. 

Para filosof Yunani menyadari adanya konflik antara hukum positif dan keadilan, yang dilandasi oleh rasa kurang aman di masyarakat, ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan aristokrasi, dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan, serta usaha menemukan hakikat keadilan oleh para filsuf Yunani. 

Seperti Plato, yang menetapkan konsep keadilan dari inspirasi, dan Aristoteles, yang mengembangkannya berdasarkan penelitian ilmiah, prinsip-prinsip rasional, dan model serta hukum politik yang ada. Meski keduanya sepakat bahwa keadilan merupakan bagian mutlak dari "kebajikan".

Karya hukum Plato terkait dengan keadilan dibahas dalam Republik dan Hukum. Menurut Plato, keadilan adalah kebijakan dalam arti keselarasan dan keseimbangan. Aristoteles menyatakan dalam Retorika bahwa keadilan adalah cita-cita semua orang dan harus dilindungi dalam semua bidang kehidupan. 

Kemudian ahli hukum Romawi yakni Ulpianus menyatakan dalam Digesta - Institutiones Dael I: Justitia est Perpetua et Constans voluntas jus suum cuique tribuendi, bahwa keadilan merupakan keseimbangan, yang mengandung arti memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya, suum cuique tribuere (memberikan apa yang menjadi bagian/hak manusia).

Ternyata apa yang dikemukakan Ulpianus di atas merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori keadilan Aristoteles, dimana Aristoteles membagi keadilan atas:
(1) Justitia Commutative yaitu Keadilan, yang memberikan kepada setiap bagiannya atas dasar persamaan.
(2) Justitia Distributiva yaitu Keadilan yang memberikan kepada masing-masing bagian menurut dasar perbedaan yang memperhitungkan perbedaan kualitas. Ketidakadilan adalah ketika beberapa diperlakukan tidak sama dan tidak sama diperlakukan sama. Inilah yang terjadi pada Yesus ketika dia disalibkan di Kalvari atas keputusan Pontius Pilatus.
(3) Justitia Vindicativa yaitu Memberi keadilan pada setiap bagian menurut keseimbangan masing-masing (proporsi), misal hukumannya seimbang dengan kejahatannya.
(4) Justitia Creativa yaitu Keadilan yang memberikan kebebasan kepada setiap bagian untuk menciptakan sesuatu berdasarkan kreativitasnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan budaya.
(5) Justitia Prativa yaitu Keadilan yang melindungi manusia. Perlakuan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa semua kekuasaan manusia atas manusia harus dibatasi, yaitu pembatasan kekuasaan yang membatasi hak dan kewajiban dasar manusia.
(6) Justitia Legalis yaitu Kebajikan menyeluruh tentang kebaikan umum dalam masyarakat. Bahwa para penguasa setia pada janji mereka dan bertindak dengan itikad baik.

Dun Scotus menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memiliki keadilan, karena tidak ada hukum yang lebih tinggi dari Tuhan. Pada saat yang sama, Kelsen berpendapat bahwa ada dua tipe dasar keadilan, yaitu tipe rasional dan tipe metafisik. Tokoh rasionalis adalah Aristoteles, yang mencoba menemukan hakikat keadilan melalui penelitian ilmiah yang logis. 

Sementara itu, tipe metafisik yang digagas Plato meyakini bahwa keadilan itu ada, tetapi sebagai kualitas yang kerjanya tidak dapat diamati oleh manusia. Keadilan ada di dunia lain, di luar pengalaman manusia, dan alasan manusia yang diperlukan untuk keadilan tunduk pada cara Tuhan yang tidak berubah.

Plato mendasarkan keadilan pada pengetahuan yang baik di luar "dunia luar", yang hanya dapat diperoleh melalui kebijaksanaan. Di sisi lain, Friedman berpendapat bahwa Dasar Theological memberikan dasar yang paling sederhana dan paling benar untuk cita-cita keadilan. Dan St Agustinus mengakui bahwa keadilan hanyalah suatu tatanan yang memberikan bagian kepada masing-masing pihak secara proporsional.

Teori keadilan Del Vecchio dimulai dengan mengartikulasikan karakteristik ganda manusia. Manusia adalah fisik dan metafisik, keduanya adalah prinsip alami. Sebagai bagian dari alam, ia tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, tetapi sebagai makhluk yang cerdas, ia memiliki kesempatan untuk secara bebas memutuskan apa yang ada dalam dirinya. 

Sebagai makhluk rasional yang melampaui dan memahami alam, dalam dirinya manusia memiliki "benih keadilan yang abadi". Benih keadilan merupakan ide dan perasaan. Hakikat keadilan dengan demikian adalah subjektivitas itu sendiri (alterita), dengan kata lain, pertimbangan yang sama dari beberapa masalah mendasar pada tingkat yang sama, yang darinya muncul unsur-unsur kesetaraan dan timbal balik.

Dokpri
Dokpri
Plato adalah salah satu filsuf yang berpendapat dan berpikir tentang keadilan. Dalam pemikirannya, Plato mendefinisikan keadilan sebagai "kebajikan tertinggi dari negara yang baik", yang berarti bahwa keadilan adalah kebajikan tertinggi dari negara yang baik. 

Dalam gagasan ini, ia juga menganggap bahwa keadilan adalah bagian dari individu yang mendukung individu  dalam  perannya sebagai orang baik. Ini menyangkut dua konsep Keadilan Plato, yaitu negara yang adil dan individu yang adil. 

Seperti di negara yang adil, setiap kelas, atau setiap stasiun individu, memiliki tugasnya, yang masing-masing memenuhi, menciptakan tujuan yang harmonis, dan yang, ketika seseorang melaksanakan dan memenuhi tugasnya, maka ia berhak menerima upah dan penghargaan yang setimpal.Pemikiran Platonis masuk akal dalam definisi ini. 

Seperti contoh seorang pencuri, ia juga dianggap tidak adil karena ingin mempunyai apa yang bukan menjadi miliknya. Seorang dokter yang tidak mempedulikan keselamatan pasien dianggap tidak adil karena telah meremehkan perannya. 

Oleh karena itu orang yang tidak memahami kebaikan dan tanggung jawab yang sesuai dengan situasi hidupnya, serta  orang yang  memperlakukan orang lain lebih buruk dari yang seharusnya, dianggap tidak adil. Juga negara yang tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik dianggap sebagai negara yang tidak adil. Pengertian keadilan Platon dengan cara ini dirumuskan sebagai "memberikan masing-masing haknya", yaitu memberi masing-masing menurut apa yang  menjadi haknya.
 

Plato adalah seorang filsuf Barat yang memiliki pengaruh besar pada perkembangan pemikiran manusia ke arah yang lebih konsisten. Plato mendefinisikan konsep keadilan sebagai suatu gagasan, suatu nilai, suatu hal yang dimiliki dan dibuat sesuai dengan situasi kehidupan, kemampuan dan kompetensi masing-masing individu.

Plato membagi keadilan menjadi enam, yaitu sebagai berikut:
(1) Keadilan distributif. Keadilan distributif adalah keutamaan perilaku masyarakat dan penguasanya, yang selalu mendistribusikan segala kesenangan dan beban secara merata dan adil, menurut keselarasan alam. dan tingkat perbedaan jasmani dan rohani.
(2) Keadilan komutatif. Keadilan komutatif adalah kebajikan perilaku manusia yang harus selalu diberikan kepada orang lain, sesuatu yang menjadi hak orang lain atau sesuatu yang harus diterima  pihak lain. Dalam keadilan pertukaran, ada interaksi timbal balik memberi dan  menerima. Keadilan komutatif tercipta dalam hubungan antar manusia dalam hubungan antar manusia dalam masyarakat.
(3) Keadilan kodrat alam. Keadilan kodrat alam adalah keutamaan perilaku manusia terhadap masyarakat, untuk selalu menyediakan dan melaksanakan segala sesuatu yang menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhir masyarakat atau negara.
(4) Keadilan Konvensional. Keadilan konvensional merupakan hukum yang mengikat warga negara karena keadilan itu ditetapkan oleh suatu penguasa (penguasa suatu negara atau pejabat publik).
(5) Keadilan Moral. Keadilan moral adalah keadilan yang berdasarkan keserasian, artinya keadilan merupakan hasil dari suatu kesatuan/penyesuaian yang memberikan tempat yang serasi pada bagian-bagian yang membentuk setiap bagian.
(6) Keadilan Prosedural. Keadilan prosedural adalah sarana untuk melaksanakan keadilan moral yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari hukum positif dan adat.

LATAR BELAKANG MUNCULNYA PEMERIKSAAN PAJAK

Pemeriksaan pajak tidak terlepas dari sistem self assessment yang diterapkan dalam sistem perpajakan  Indonesia. Sistem self-assessment mengharuskan wajib pajak untuk menghitung, menyetor dan melakukan pelaporan pajak mereka sendiri. Sistem penilaian sendiri berlaku untuk pajak penghasilan dan PPN.

Dalam hal ini pemeriksaan pajak merupakan salah satu kegiatan pengendalian Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dengan adanya pengawasan,  negara dapat mencegah wajib pajak yang berusaha  menghindari pembayaran pajak yang besar. Tanpa  pengawasan, akan banyak wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar. Misalnya dengan membayar pajak sesedikit mungkin dengan meminimalkan penghasilan kena pajak dengan cara mengurangi omset atau meningkatkan pengeluaran.

PENGERTIAN PEMERIKSAAN PAJAK

Pemeriksaan pajak adalah kegiatan yang dilakukan secara obyektif dan profesional dengan mengumpulkan informasi dan bukti. Pemeriksaan pajak dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan yang  ditetapkan. Tujuan  pemeriksaan pajak adalah untuk mengendalikan pelaksanaan  pajak oleh Wajib Pajak dan untuk keperluan lain. 

Pemeriksaan pajak adalah langkah terakhir dalam memantau proses perpajakan untuk memastikan bahwa wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakannya. Kewajiban perpajakan seperti penyampaian Surat Pernyataan (SPT) yang benar, jelas dan lengkap. Pemeriksaan pajak dilakukan misalnya  ketika Wajib Pajak mengajukan SPT Tahunan Lebih Bayar, menyampaikan SPT Rugi Fiskal, Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, atau pembubaran.

Contoh pemeriksaan yang dilakukan untuk tujuan lain, seperti penetapan tanggal awal produksi, penetapan wajib pajak yang berada di daerah terpencil, penyusunan norma penghitungan penghasilan neto, dan lain-lain.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak mencakup pemeriksaan terhadap satu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau semua jenis pajak untuk tahun yang lalu atau yang akan datang.

RUANG LINGKUP PEMERIKSAAN PAJAK
Ruang lingkup pemeriksaan pajak meliputi jenis pajak yang diperiksa dan periode akuntansi atau akuntansi yang diperiksa. Dalam  pemeriksaan  kepatuhan Wajib Pajak, ruang lingkup pemeriksaan meliputi:
 a. Pemeriksaan satu atau lebih jenis pajak. Pemeriksaan ini mencakup pajak penghasilan dari satu atau lebih jenis pajak, kecuali untuk suatu perusahaan atau orang pribadi, untuk satu atau lebih masa pajak, bagian dari suatu tahun pajak, atau satu tahun pajak, atau untuk tahun terakhir atau untuk suatu masa dalam tahun pajak.
 b. Pemeriksaan seluruh jenis pajak. Pemeriksaan ini mencakup semua jenis pajak untuk satu tahun pajak atau masa dalam satu tahun pajak, baik tahun lalu maupun tahun berjalan. Jika yang dilakukan pemeriksaan adalah SPT Tahunan badan ataupun orang pribadi, maka pemeriksaan dilakukan atas semua jenis pajak.

BAGAIMANA KEADILAN PEMERIKSAAN PAJAK
Otoritas pajak saat ini bekerja untuk meningkatkan perencanaan pemeriksaan untuk memastikan keadilan dan efisiensi pemeriksaan.
Jika kita meneliti catatan jumlah Wajib Pajak yang diperiksa, luas pemeriksaannya hanya 1,36%. Artinya, ruang lingkup pemeriksaan yang dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah wajib pajak yang diperiksa dengan jumlah wajib pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) sangat kecil dibandingkan dengan yang tidak dilaksanakan pemeriksaan.  Jumlah pemeriksaan yang sedikit berarti ruang pemeriksaan dapat diperluas sehingga pemeriksaannya adil bagi semua wajib pajak.

Yang pertama yaitu ruang lingkup pemeriksaan dapat diperluas selama Wajib Pajak belum diperiksa. Kedua, tidak perlu memperluas ruang lingkup pemeriksaan meskipun Wajib Pajak belum diperiksa, karena besarnya cakupan tidak hanya menunjukkan keadilan Wajib Pajak yang diperiksa. Wajib pajak yang diperiksa juga tidak menunjukkan adanya ketidakpatuhan.

Peraturan pasal 29 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 6/1983 mengatur wewenang direktur pajak untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan memeriksa kebenaran surat pemberitahuan, akuntansi dan kewajiban pajak lainnya dibandingkan dengan situasi aktual wajib pajak.

Dokpri
Dokpri
Adalah biasa untuk melakukan pemeriksaan pajak yang sebenarnya asalkan otoritas pajak mengetahui bahwa ada data yang belum dipenuhi oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.Dalam pemeriksaan, Dirjen Pajak tidak membedakan apakah yang diperiksa termasuk sebagai Wajib Pajak besar atau kecil. Tujuannya adalah untuk memperbaiki mekanisme dari pemeriksaan pajak.
Oleh karena itu, diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ/2018, salah satu poinnya adalah perlunya membentuk komite perencanaan pemeriksaan untuk membahas dan menentukan Wajib Pajak yang akan diperiksa. Surat edaran tersebut menyebutkan tujuh bentuk modus ketidakpatuhan yang sering dilakukan wajib pajak. Pertama, yaitu tidak melaporkan omset yang benar. Kedua, membebankan biaya-biaya yang tidak benar. Ketiga, ketidakpatuhan terhadap PPN, misalnya melaporkan penjualan lokal sebagai ekspor. Keempat, perencanaan pajak yang agresif. Kelima, penyalahgunaan P3B (treaty abuse). Keenam, tidak melaporkan nilai yang benar saat mengalihkan harta dalam rangka likuidasi, merger, dll. Ketujuh, tidak melaporkan nilai perolehan dengan benar sehubungan dengan pertukaran aset.
Ketujuh modus ketidakpatuhan tersebut di atas telah lama dibicarakan sebagai cara penghindaran pajak. Pada dasarnya ada dua kondisi yang mempengaruhi kepatuhan, yaitu Pelayanan Pajak berupa sistem pelayanan yang baik dan menyenangkan. Kedua, penegakan pajak berupa sanksi yang berat karena melaporkan pajak secara tidak benar.
Akses hukum dan pemberian perlindungan hukum kepada wajib pajak merupakan pilihan dan fokus yang sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan sebagai langkah menuju keadilan hukum yang diinginkan. Pasalnya, pemungutan pajak merupakan alat yang dapat memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
Ketentuan tentang perlindungan hukum harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga Wajib Pajak memahami undang-undang dalam kaitannya dengan pemeriksaan pajak menurut peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan pajak sebagai penyeimbang penerapan self assessment system menjadi satu kesatuan sistem agar pemungutan pajak tetap berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Penagihan pajak harus dilakukan secara adil. Jika keadilan menjadi fokus perhatian dalam penyidikan yang diatur oleh Pasal 29 UU KUP, aturan ini mencakup keadilan sebagai arti dari semua undang-undang. Dari keadilan inilah lahir hukum yang mengikat.
Seperti yang dikatakan Luypen, tanpa adanya sifat mewajibkan maka tidak ada aturan yang layak disebut hukum. Makna hukum (keadilan) dalam konteks pemeriksaan pajak bukan hanya "kenyataan hukum", seperti yang biasanya diklaim oleh positivisme, tetapi keadilan yang sebenarnya memaksa.
Pemeriksaan merupakan kewenangan hukum pemerintah (Dirjen Pajak) untuk mewujudkan keadilan. Jika makna ini dipahami, cakupan pemeriksaan sebanyak 1,36 persen atau cakupan target 3-5 persen tidak lagi menjadi ukuran keadilan dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Angka-angka ini hanya dimaksudkan untuk menunjukkan betapa kecilnya jumlah wajib pajak yang diperiksa.
Menurut Luypen, pemeriksaan pajak yang adil adalah memperhitungkan sikap yang memperhatikan tugas dan tanggung jawab dalam mempertahankan dan mengembangkan perikemanusiaan. Pemungutan pajak menurut undang-undang adalah dasar yang kelangsungan hidup bersama berjalan dengan baik. Standar pemeriksaan pajak juga merupakan bagian kecil dari banyak aturan dalam proses pemungutan pajak yang diatur oleh undang-undang.
Standar pemeriksaan pajak juga dapat dilihat dalam kaitannya dengan pelayanan pajak dalam arti yang lebih luas. Penerbitan NPWP, pemeriksaan, penyidikan, penagihan utang pajak pada hakikatnya merupakan pelayanan perpajakan untuk memungut uang pajak untuk keperluan hidup bersama dan bukan untuk melaksanakan kegiatan Direktorat Jenderal Pajak.
Keadilan pemungutan pajak merupakan keadilan untuk terus hidup dengan pengeluaran yang berasal dari pendapatan pajak. Karena kata "pajak" telah menjadi kata yang banyak digunakan untuk menggambarkan semua pengeluaran (biaya) pemerintah untuk kebutuhan masyarakat, maka semua kebutuhan masyarakat tidak dapat dipenuhi tanpa pajak
Dalam memahami konsep ini, penting untuk mengetahui keadilan dalam pemeriksaan pajak. Keadilan dalam pajak adalah sesuatu yang tidak sulit untuk dipahami dan dirasakan. Contoh, Jika seseorang naik kereta api tetapi tidak memiliki tiket, atau jika seseorang melewati jalan tol dan tidak membayar tol, itu tidak adil.
Juga tidak adil jika Pak Ale tidak membayar retribusi sampah tetapi menikmati kondisi bersih di daerahnya. Juga tidak adil jika Pak Joko tidak membayar pajak dengan benar tetapi tidak pernah diperiksa untuk memastikan dia membayar pajak dengan benar. Jika demikian, maka memang benar instrumen perpajakan merupakan instrumen yang menciptakan keadilan bagi kelangsungan hidup bersama.
Pemahaman terhadap keadilan pajak tidak lepas dari mekanisme hukum dari sisi pemeriksaan yang diatur di dalam undang-undang. Kedepannya diharapkan kepatuhan perpajakan dapat meningkat dengan adanya upaya pemeriksaan dari Direktorat Jenderal Pajak.

BAGAIMANA KEADILAN DALAM KASUS
Keadilan dalam proses sengketa pajak antara wajib pajak (WP) dengan Dirjen Pajak memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul. Bisa jadi logika hukum dari berbagai pihak dalam mempertahankan pendapat tidak terselesaikan dengan baik. Dalam hal ini peran hakim pengadilan pajak mencari keadilan yang sebenarnya secara logis.
Independensi dan kebebasan hakim pajak tidak ditentukan dalam prosedur yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Litigasi adalah proses hukum yang memberikan strategi bagi para pihak untuk menang berdasarkan bukti hukum yang tersedia.
Selama para pihak dapat  membuktikan adanya transaksi-transaksi dan dokumen-dokumen hukum yang diperlukan, hakim harus menganalisis dan mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti yang sah dan juga keyakinan hakim. Akan tetapi, tindakan administratif seringkali tidak tepat, misalnya akibat tidak melaporkan dokumen pada SPT (Surat Pemberitahuan) sehingga kesalahan ada pada wajib pajak.
Biasanya terjadi dalam praktek ketika Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban pajak dengan benar, tetapi lupa atau tidak melengkapi serta tidak melaporkan dalam SPT. Seringkali, Dirjen Pajak menilai bahwa kesalahan administrasi seperti itu membuat perpajakan yang sudah dianggap benar menjadi salah.
Contohnya, misal Tuan Baba pada laporan SPT Tahunan Tahun 2021 lupa mencantumkan transaksi pengenaan PPh Final yang telah dibayar ke kas negara melalui pemungut. Atau Nyonya Asa yang telah dikenakan PPh bunga deposito yang pengenaannya bersifat final, lupa mencantumkan penghasilan bunga deposito tersebut pada lampiran SPT.
Pada saat Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan pajak terhadap laporan SPT Tuan Baba maupun SPT Nyonya Asa, pemeriksa pajak dapat menilai bahwa SPT yang diisi tersebut tidak benar karena tidak mengikuti aturan pengisian SPT Undang-Undang. Padahal secara kewajiban pajak sudah diselesaikan melalui pihak pemotong atau pemungut pajak.
Perundang-undangan perpajakan pada dasarnya mencakup kebenaran substantif, bukan prosedural atau administratif. Sanksi administratif tidak boleh mengubah situasi sebenarnya, yang penting. Perundang-undangan perpajakan ingin mencari kondisi material pada sisi pajak yang dibayar atau tidak dibayar, bukan pada sisi pajak yang telah dilaporkan atau belum dilaporkan. Apalagi pelunasan pajak dilakukan oleh pihak ketiga sebagai pemungut pajak.
Penafsiran atas fenomena kesalahan administrasi masih merupakan kesalahan yang signifikan bagi Dirjen Pajak. Secara logika hukum, mengikuti cara berpikir seperti itu akan membuat pengenaan pajak menjadi dua kali dan tentu tidak adil karena pemerintah mengambil kewajiban wajib pajak lebih dari yang seharusnya. Dengan kata lain, wajib pajak membayar lebih dari kewajiban yang seharusnya. Padahal, hak dan kewajiban dari masing-masing pihak telah diatur secara tegas dalam undang-undang perpajakan terkait.
Keadilan pajak dalam proses sengketa pajak merupakan keadilan dilihat dari jumlah pajak yang  dibayar, bukan yang sudah dilaporkan atau belum dilaporkan. Putusan hakim semata-mata didasarkan pada bukti telah dibayar atau belum pajaknya dan tingkat keyakinan hakim. Tingkat keyakinan tersebut masih didasarkan pada bukti bahwa pajak telah dibayar atau belum, bukan pada telah dilaporkan atau belum.
Hakim harus mengevaluasi hukum (hukum pajak) pada tingkat keadilan bagi para pihak dan tidak masuk dalam perumusan undang-undang. Jika terjadi pertentangan antara aturan hukum, nilai hukum dan rasa keadilan, maka hakim harus mengkaji rasa keadilan yang ada. Ini adalah fungsi pengadilan, dimana pengadilan berasal dari kata adil, dan memiliki peran sakral hakim sebagai wakil Tuhan di dunia. Putusan hakim dibuat atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dokpri
Dokpri

BAGAIMANA KEADILAN DALAM UU PAJAK
Cara berpikir hakim dalam kaitannya dengan keadilan perpajakan pada hakikatnya menitikberatkan pada dua penerapan hukum, yaitu pertama, penerapan hukum positif dan kedua, rumusan batin tentang makna pajak. Satjipto Rahardjo menekankan bahwa hukum  bisa keras dan karena itu mengandung kemungkinan tidak membawa keadilan.
Dalam konteks ini diperlukan pengertian hukum (epikeia) yaitu penafsiran hukum positif bukan menurut kalimatnya, tetapi menurut suasana rohaninya. Jika penerapan hukum positif mengalami kesulitan dalam menangani hal-hal yang dibatasi oleh hukum, keadilan akan sulit tercapai.
Tentu bisa dipahami jika penerapan hukum secara literal dapat benar-benar menghilangkan makna hukum sebagai tatanan keadilan. Jika demikian halnya, maka penerapan undang-undang perpajakan adalah penerapan hukum yang menuju tatanan keadilan yang dipahami sejak awal dalam konteks kebatinan tentang cara yang diinginkan di mana hukum itu dikembangkan.
Sangat jelas bahwa penerapan Undang-Undang Perpajakan (UU Perpajakan) sejak awal merupakan penerapan di mana Wajib Pajak memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak yang harus atau tidak harus dipenuhi wajib pajak. Pelunasan pajak merupakan konteks kebatinan yang didambakan dalam hukum perpajakan. Dipahami dalam konteks ini, mungkin saja keadilan dalam proses peradilan pajak, baik dalam hal kasus perpajakan yang sederhana maupun yang kompleks, diarahkan hanya untuk membayar pajak-pajak yang memang dimaksudkan sejak awal.
Seberapa banyak hak negara yang sebenarnya untuk memungut pajak secara tidak tepat (dua kali lipat atau bahkan dua kali lipat), dengan kata lain negara mengambil dari masyarakat (wajib pajak) lebih dari yang  seharusnya. Inilah yang harus dikoreksi hakim atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, sistem peradilan benar-benar menjadi tempat mencari keadilan di dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Ervana, O.N. (2019). Pengaruh Pemeriksaan Pajak, Keadilan Pajak, dan Tarif Pajak Terhadap Etika Penggelapan Pajak. Jurnal Akuntansi Pajak Dewantara. 1(1). Hal.80-92.

Muhasan, I. (2017). Menakar Ulang Spesialitas Hukum Pajak Dalam Lapangan Hukum di Indonesia. Jurnal Pajak Indonesia. 1(1). Hal. 12-22.

Panjaitan, E.L. (2018). Hukum dan Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum. To-Ra. 4 (2). Hal. 47-51.

https://koran.bisnis.com/read/20181102/251/855690/kepatuhan-wajib-pajak-keadilan-dalam-pemeriksaan-pajak

https://investor.id/archive/mencari-keadilan-dalam-proses-peradilan-pajak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun