Mohon tunggu...
Meidita Andrilia
Meidita Andrilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak II Nama: Meidita Andrilia II NIM: 55521110042 II Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana

Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak II Nama: Meidita Andrilia II NIM: 55521110042 II Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2: Cara Memahami Peraturan Audit Perpajakan Pendekatan Seni

9 November 2022   22:29 Diperbarui: 9 November 2022   22:44 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemeriksaan pajak adalah kegiatan yang dilakukan secara obyektif dan profesional dengan mengumpulkan informasi dan bukti. Pemeriksaan pajak dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan yang  ditetapkan. Tujuan  pemeriksaan pajak adalah untuk mengendalikan pelaksanaan  pajak oleh Wajib Pajak dan untuk keperluan lain. 

Pemeriksaan pajak adalah langkah terakhir dalam memantau proses perpajakan untuk memastikan bahwa wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakannya. Kewajiban perpajakan seperti penyampaian Surat Pernyataan (SPT) yang benar, jelas dan lengkap. Pemeriksaan pajak dilakukan misalnya  ketika Wajib Pajak mengajukan SPT Tahunan Lebih Bayar, menyampaikan SPT Rugi Fiskal, Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, atau pembubaran.

Contoh pemeriksaan yang dilakukan untuk tujuan lain, seperti penetapan tanggal awal produksi, penetapan wajib pajak yang berada di daerah terpencil, penyusunan norma penghitungan penghasilan neto, dan lain-lain.
Pelaksanaan pemeriksaan pajak mencakup pemeriksaan terhadap satu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau semua jenis pajak untuk tahun yang lalu atau yang akan datang.

RUANG LINGKUP PEMERIKSAAN PAJAK
Ruang lingkup pemeriksaan pajak meliputi jenis pajak yang diperiksa dan periode akuntansi atau akuntansi yang diperiksa. Dalam  pemeriksaan  kepatuhan Wajib Pajak, ruang lingkup pemeriksaan meliputi:
 a. Pemeriksaan satu atau lebih jenis pajak. Pemeriksaan ini mencakup pajak penghasilan dari satu atau lebih jenis pajak, kecuali untuk suatu perusahaan atau orang pribadi, untuk satu atau lebih masa pajak, bagian dari suatu tahun pajak, atau satu tahun pajak, atau untuk tahun terakhir atau untuk suatu masa dalam tahun pajak.
 b. Pemeriksaan seluruh jenis pajak. Pemeriksaan ini mencakup semua jenis pajak untuk satu tahun pajak atau masa dalam satu tahun pajak, baik tahun lalu maupun tahun berjalan. Jika yang dilakukan pemeriksaan adalah SPT Tahunan badan ataupun orang pribadi, maka pemeriksaan dilakukan atas semua jenis pajak.

BAGAIMANA KEADILAN PEMERIKSAAN PAJAK
Otoritas pajak saat ini bekerja untuk meningkatkan perencanaan pemeriksaan untuk memastikan keadilan dan efisiensi pemeriksaan.
Jika kita meneliti catatan jumlah Wajib Pajak yang diperiksa, luas pemeriksaannya hanya 1,36%. Artinya, ruang lingkup pemeriksaan yang dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah wajib pajak yang diperiksa dengan jumlah wajib pajak yang wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) sangat kecil dibandingkan dengan yang tidak dilaksanakan pemeriksaan.  Jumlah pemeriksaan yang sedikit berarti ruang pemeriksaan dapat diperluas sehingga pemeriksaannya adil bagi semua wajib pajak.

Yang pertama yaitu ruang lingkup pemeriksaan dapat diperluas selama Wajib Pajak belum diperiksa. Kedua, tidak perlu memperluas ruang lingkup pemeriksaan meskipun Wajib Pajak belum diperiksa, karena besarnya cakupan tidak hanya menunjukkan keadilan Wajib Pajak yang diperiksa. Wajib pajak yang diperiksa juga tidak menunjukkan adanya ketidakpatuhan.

Peraturan pasal 29 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 6/1983 mengatur wewenang direktur pajak untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan memeriksa kebenaran surat pemberitahuan, akuntansi dan kewajiban pajak lainnya dibandingkan dengan situasi aktual wajib pajak.

Dokpri
Dokpri
Adalah biasa untuk melakukan pemeriksaan pajak yang sebenarnya asalkan otoritas pajak mengetahui bahwa ada data yang belum dipenuhi oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.Dalam pemeriksaan, Dirjen Pajak tidak membedakan apakah yang diperiksa termasuk sebagai Wajib Pajak besar atau kecil. Tujuannya adalah untuk memperbaiki mekanisme dari pemeriksaan pajak.
Oleh karena itu, diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ/2018, salah satu poinnya adalah perlunya membentuk komite perencanaan pemeriksaan untuk membahas dan menentukan Wajib Pajak yang akan diperiksa. Surat edaran tersebut menyebutkan tujuh bentuk modus ketidakpatuhan yang sering dilakukan wajib pajak. Pertama, yaitu tidak melaporkan omset yang benar. Kedua, membebankan biaya-biaya yang tidak benar. Ketiga, ketidakpatuhan terhadap PPN, misalnya melaporkan penjualan lokal sebagai ekspor. Keempat, perencanaan pajak yang agresif. Kelima, penyalahgunaan P3B (treaty abuse). Keenam, tidak melaporkan nilai yang benar saat mengalihkan harta dalam rangka likuidasi, merger, dll. Ketujuh, tidak melaporkan nilai perolehan dengan benar sehubungan dengan pertukaran aset.
Ketujuh modus ketidakpatuhan tersebut di atas telah lama dibicarakan sebagai cara penghindaran pajak. Pada dasarnya ada dua kondisi yang mempengaruhi kepatuhan, yaitu Pelayanan Pajak berupa sistem pelayanan yang baik dan menyenangkan. Kedua, penegakan pajak berupa sanksi yang berat karena melaporkan pajak secara tidak benar.
Akses hukum dan pemberian perlindungan hukum kepada wajib pajak merupakan pilihan dan fokus yang sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan sebagai langkah menuju keadilan hukum yang diinginkan. Pasalnya, pemungutan pajak merupakan alat yang dapat memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada masyarakat.
Ketentuan tentang perlindungan hukum harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga Wajib Pajak memahami undang-undang dalam kaitannya dengan pemeriksaan pajak menurut peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan pajak sebagai penyeimbang penerapan self assessment system menjadi satu kesatuan sistem agar pemungutan pajak tetap berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Penagihan pajak harus dilakukan secara adil. Jika keadilan menjadi fokus perhatian dalam penyidikan yang diatur oleh Pasal 29 UU KUP, aturan ini mencakup keadilan sebagai arti dari semua undang-undang. Dari keadilan inilah lahir hukum yang mengikat.
Seperti yang dikatakan Luypen, tanpa adanya sifat mewajibkan maka tidak ada aturan yang layak disebut hukum. Makna hukum (keadilan) dalam konteks pemeriksaan pajak bukan hanya "kenyataan hukum", seperti yang biasanya diklaim oleh positivisme, tetapi keadilan yang sebenarnya memaksa.
Pemeriksaan merupakan kewenangan hukum pemerintah (Dirjen Pajak) untuk mewujudkan keadilan. Jika makna ini dipahami, cakupan pemeriksaan sebanyak 1,36 persen atau cakupan target 3-5 persen tidak lagi menjadi ukuran keadilan dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Angka-angka ini hanya dimaksudkan untuk menunjukkan betapa kecilnya jumlah wajib pajak yang diperiksa.
Menurut Luypen, pemeriksaan pajak yang adil adalah memperhitungkan sikap yang memperhatikan tugas dan tanggung jawab dalam mempertahankan dan mengembangkan perikemanusiaan. Pemungutan pajak menurut undang-undang adalah dasar yang kelangsungan hidup bersama berjalan dengan baik. Standar pemeriksaan pajak juga merupakan bagian kecil dari banyak aturan dalam proses pemungutan pajak yang diatur oleh undang-undang.
Standar pemeriksaan pajak juga dapat dilihat dalam kaitannya dengan pelayanan pajak dalam arti yang lebih luas. Penerbitan NPWP, pemeriksaan, penyidikan, penagihan utang pajak pada hakikatnya merupakan pelayanan perpajakan untuk memungut uang pajak untuk keperluan hidup bersama dan bukan untuk melaksanakan kegiatan Direktorat Jenderal Pajak.
Keadilan pemungutan pajak merupakan keadilan untuk terus hidup dengan pengeluaran yang berasal dari pendapatan pajak. Karena kata "pajak" telah menjadi kata yang banyak digunakan untuk menggambarkan semua pengeluaran (biaya) pemerintah untuk kebutuhan masyarakat, maka semua kebutuhan masyarakat tidak dapat dipenuhi tanpa pajak
Dalam memahami konsep ini, penting untuk mengetahui keadilan dalam pemeriksaan pajak. Keadilan dalam pajak adalah sesuatu yang tidak sulit untuk dipahami dan dirasakan. Contoh, Jika seseorang naik kereta api tetapi tidak memiliki tiket, atau jika seseorang melewati jalan tol dan tidak membayar tol, itu tidak adil.
Juga tidak adil jika Pak Ale tidak membayar retribusi sampah tetapi menikmati kondisi bersih di daerahnya. Juga tidak adil jika Pak Joko tidak membayar pajak dengan benar tetapi tidak pernah diperiksa untuk memastikan dia membayar pajak dengan benar. Jika demikian, maka memang benar instrumen perpajakan merupakan instrumen yang menciptakan keadilan bagi kelangsungan hidup bersama.
Pemahaman terhadap keadilan pajak tidak lepas dari mekanisme hukum dari sisi pemeriksaan yang diatur di dalam undang-undang. Kedepannya diharapkan kepatuhan perpajakan dapat meningkat dengan adanya upaya pemeriksaan dari Direktorat Jenderal Pajak.

BAGAIMANA KEADILAN DALAM KASUS
Keadilan dalam proses sengketa pajak antara wajib pajak (WP) dengan Dirjen Pajak memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul. Bisa jadi logika hukum dari berbagai pihak dalam mempertahankan pendapat tidak terselesaikan dengan baik. Dalam hal ini peran hakim pengadilan pajak mencari keadilan yang sebenarnya secara logis.
Independensi dan kebebasan hakim pajak tidak ditentukan dalam prosedur yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Litigasi adalah proses hukum yang memberikan strategi bagi para pihak untuk menang berdasarkan bukti hukum yang tersedia.
Selama para pihak dapat  membuktikan adanya transaksi-transaksi dan dokumen-dokumen hukum yang diperlukan, hakim harus menganalisis dan mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti yang sah dan juga keyakinan hakim. Akan tetapi, tindakan administratif seringkali tidak tepat, misalnya akibat tidak melaporkan dokumen pada SPT (Surat Pemberitahuan) sehingga kesalahan ada pada wajib pajak.
Biasanya terjadi dalam praktek ketika Wajib Pajak telah melaksanakan kewajiban pajak dengan benar, tetapi lupa atau tidak melengkapi serta tidak melaporkan dalam SPT. Seringkali, Dirjen Pajak menilai bahwa kesalahan administrasi seperti itu membuat perpajakan yang sudah dianggap benar menjadi salah.
Contohnya, misal Tuan Baba pada laporan SPT Tahunan Tahun 2021 lupa mencantumkan transaksi pengenaan PPh Final yang telah dibayar ke kas negara melalui pemungut. Atau Nyonya Asa yang telah dikenakan PPh bunga deposito yang pengenaannya bersifat final, lupa mencantumkan penghasilan bunga deposito tersebut pada lampiran SPT.
Pada saat Dirjen Pajak melakukan pemeriksaan pajak terhadap laporan SPT Tuan Baba maupun SPT Nyonya Asa, pemeriksa pajak dapat menilai bahwa SPT yang diisi tersebut tidak benar karena tidak mengikuti aturan pengisian SPT Undang-Undang. Padahal secara kewajiban pajak sudah diselesaikan melalui pihak pemotong atau pemungut pajak.
Perundang-undangan perpajakan pada dasarnya mencakup kebenaran substantif, bukan prosedural atau administratif. Sanksi administratif tidak boleh mengubah situasi sebenarnya, yang penting. Perundang-undangan perpajakan ingin mencari kondisi material pada sisi pajak yang dibayar atau tidak dibayar, bukan pada sisi pajak yang telah dilaporkan atau belum dilaporkan. Apalagi pelunasan pajak dilakukan oleh pihak ketiga sebagai pemungut pajak.
Penafsiran atas fenomena kesalahan administrasi masih merupakan kesalahan yang signifikan bagi Dirjen Pajak. Secara logika hukum, mengikuti cara berpikir seperti itu akan membuat pengenaan pajak menjadi dua kali dan tentu tidak adil karena pemerintah mengambil kewajiban wajib pajak lebih dari yang seharusnya. Dengan kata lain, wajib pajak membayar lebih dari kewajiban yang seharusnya. Padahal, hak dan kewajiban dari masing-masing pihak telah diatur secara tegas dalam undang-undang perpajakan terkait.
Keadilan pajak dalam proses sengketa pajak merupakan keadilan dilihat dari jumlah pajak yang  dibayar, bukan yang sudah dilaporkan atau belum dilaporkan. Putusan hakim semata-mata didasarkan pada bukti telah dibayar atau belum pajaknya dan tingkat keyakinan hakim. Tingkat keyakinan tersebut masih didasarkan pada bukti bahwa pajak telah dibayar atau belum, bukan pada telah dilaporkan atau belum.
Hakim harus mengevaluasi hukum (hukum pajak) pada tingkat keadilan bagi para pihak dan tidak masuk dalam perumusan undang-undang. Jika terjadi pertentangan antara aturan hukum, nilai hukum dan rasa keadilan, maka hakim harus mengkaji rasa keadilan yang ada. Ini adalah fungsi pengadilan, dimana pengadilan berasal dari kata adil, dan memiliki peran sakral hakim sebagai wakil Tuhan di dunia. Putusan hakim dibuat atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dokpri
Dokpri

BAGAIMANA KEADILAN DALAM UU PAJAK
Cara berpikir hakim dalam kaitannya dengan keadilan perpajakan pada hakikatnya menitikberatkan pada dua penerapan hukum, yaitu pertama, penerapan hukum positif dan kedua, rumusan batin tentang makna pajak. Satjipto Rahardjo menekankan bahwa hukum  bisa keras dan karena itu mengandung kemungkinan tidak membawa keadilan.
Dalam konteks ini diperlukan pengertian hukum (epikeia) yaitu penafsiran hukum positif bukan menurut kalimatnya, tetapi menurut suasana rohaninya. Jika penerapan hukum positif mengalami kesulitan dalam menangani hal-hal yang dibatasi oleh hukum, keadilan akan sulit tercapai.
Tentu bisa dipahami jika penerapan hukum secara literal dapat benar-benar menghilangkan makna hukum sebagai tatanan keadilan. Jika demikian halnya, maka penerapan undang-undang perpajakan adalah penerapan hukum yang menuju tatanan keadilan yang dipahami sejak awal dalam konteks kebatinan tentang cara yang diinginkan di mana hukum itu dikembangkan.
Sangat jelas bahwa penerapan Undang-Undang Perpajakan (UU Perpajakan) sejak awal merupakan penerapan di mana Wajib Pajak memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak yang harus atau tidak harus dipenuhi wajib pajak. Pelunasan pajak merupakan konteks kebatinan yang didambakan dalam hukum perpajakan. Dipahami dalam konteks ini, mungkin saja keadilan dalam proses peradilan pajak, baik dalam hal kasus perpajakan yang sederhana maupun yang kompleks, diarahkan hanya untuk membayar pajak-pajak yang memang dimaksudkan sejak awal.
Seberapa banyak hak negara yang sebenarnya untuk memungut pajak secara tidak tepat (dua kali lipat atau bahkan dua kali lipat), dengan kata lain negara mengambil dari masyarakat (wajib pajak) lebih dari yang  seharusnya. Inilah yang harus dikoreksi hakim atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, sistem peradilan benar-benar menjadi tempat mencari keadilan di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun