Mohon tunggu...
Meidita Andrilia
Meidita Andrilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak II Nama: Meidita Andrilia II NIM: 55521110042 II Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana

Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak II Nama: Meidita Andrilia II NIM: 55521110042 II Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2: Cara Memahami Peraturan Audit Perpajakan Pendekatan Seni

9 November 2022   22:29 Diperbarui: 9 November 2022   22:44 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TEORI KEADILAN
Masalah keadilan telah lama menjadi fokus para filsuf Yunani. Pemikiran seperti itu didorong oleh kekacauan sosial, konflik internal, sering adanya pergantian pemerintahan, banyak kezaliman dan kesewenang-wenangan. Humerus berpendapat bahwa keadilan masih identik dengan perintah dan otoritas. 

Para filosof Yunani menyadari adanya konflik antara hukum positif dan keadilan, yang dilandasi oleh rasa kurang aman di masyarakat, ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan aristokrasi, dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan, serta usaha menemukan hakikat keadilan oleh para filsuf Yunani. 

Seperti Plato, yang menetapkan konsep keadilan dari inspirasi, dan Aristoteles, yang mengembangkannya berdasarkan penelitian ilmiah, prinsip-prinsip rasional, dan model serta hukum politik yang ada. Meski keduanya sepakat bahwa keadilan merupakan bagian mutlak dari "kebajikan".

Karya hukum Plato terkait dengan keadilan dibahas dalam Republik dan Hukum. Menurut Plato, keadilan adalah kebijakan dalam arti keselarasan dan keseimbangan. Aristoteles menyatakan dalam Retorika bahwa keadilan adalah cita-cita semua orang dan harus dilindungi dalam semua bidang kehidupan. 

Kemudian ahli hukum Romawi yakni Ulpianus menyatakan dalam Digesta - Institutiones Dael I: Justitia est Perpetua et Constans voluntas jus suum cuique tribuendi, bahwa keadilan merupakan keseimbangan, yang mengandung arti memberikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya, suum cuique tribuere (memberikan apa yang menjadi bagian/hak manusia).

Ternyata apa yang dikemukakan Ulpianus di atas merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori keadilan Aristoteles, dimana Aristoteles membagi keadilan atas:
(1) Justitia Commutative yaitu Keadilan, yang memberikan kepada setiap bagiannya atas dasar persamaan.
(2) Justitia Distributiva yaitu Keadilan yang memberikan kepada masing-masing bagian menurut dasar perbedaan yang memperhitungkan perbedaan kualitas. Ketidakadilan adalah ketika beberapa diperlakukan tidak sama dan tidak sama diperlakukan sama. Inilah yang terjadi pada Yesus ketika dia disalibkan di Kalvari atas keputusan Pontius Pilatus.
(3) Justitia Vindicativa yaitu Memberi keadilan pada setiap bagian menurut keseimbangan masing-masing (proporsi), misal hukumannya seimbang dengan kejahatannya.
(4) Justitia Creativa yaitu Keadilan yang memberikan kebebasan kepada setiap bagian untuk menciptakan sesuatu berdasarkan kreativitasnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan budaya.
(5) Justitia Prativa yaitu Keadilan yang melindungi manusia. Perlakuan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa semua kekuasaan manusia atas manusia harus dibatasi, yaitu pembatasan kekuasaan yang membatasi hak dan kewajiban dasar manusia.
(6) Justitia Legalis yaitu Kebajikan menyeluruh tentang kebaikan umum dalam masyarakat. Bahwa para penguasa setia pada janji mereka dan bertindak dengan itikad baik.

Dun Scotus menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memiliki keadilan, karena tidak ada hukum yang lebih tinggi dari Tuhan. Pada saat yang sama, Kelsen berpendapat bahwa ada dua tipe dasar keadilan, yaitu tipe rasional dan tipe metafisik. Tokoh rasionalis adalah Aristoteles, yang mencoba menemukan hakikat keadilan melalui penelitian ilmiah yang logis. 

Sementara itu, tipe metafisik yang digagas Plato meyakini bahwa keadilan itu ada, tetapi sebagai kualitas yang kerjanya tidak dapat diamati oleh manusia. Keadilan ada di dunia lain, di luar pengalaman manusia, dan alasan manusia yang diperlukan untuk keadilan tunduk pada cara Tuhan yang tidak berubah.

Plato mendasarkan keadilan pada pengetahuan yang baik di luar "dunia luar", yang hanya dapat diperoleh melalui kebijaksanaan. Di sisi lain, Friedman berpendapat bahwa Dasar Theological memberikan dasar yang paling sederhana dan paling benar untuk cita-cita keadilan. Dan St Agustinus mengakui bahwa keadilan hanyalah suatu tatanan yang memberikan bagian kepada masing-masing pihak secara proporsional.

Teori keadilan Del Vecchio dimulai dengan mengartikulasikan karakteristik ganda manusia. Manusia adalah fisik dan metafisik, keduanya adalah prinsip alami. Sebagai bagian dari alam, ia tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, tetapi sebagai makhluk yang cerdas, ia memiliki kesempatan untuk secara bebas memutuskan apa yang ada dalam dirinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun