Mohon tunggu...
Meidia Afiani Ferry Sandria
Meidia Afiani Ferry Sandria Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Lampung

Mahasiswa semester 4 di program studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Lampung.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gaya Kepemimpinan Lee Kuan Yew di Negara Maju Singanpura

20 April 2024   07:25 Diperbarui: 20 April 2024   07:26 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Singapura telah mengalami transformasi luar biasa dalam lima dekade terakhir, berubah dari negara miskin tanpa sumber daya alam yang melimpah menjadi negara yang stabil, adil, dan makmur secara politik. Keberhasilan ini sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan besar Lee Kuan Yew. Lee Kuan Yew lahir 16 September 1923 di Singapura dan mendapat pendidikan di Raffles Institution serta London School of Economics. Awal kariernya di dunia politik dimulai dengan mendirikan People’s Action Party (PAP) dan berpartisipasi dalam pemilihan legislatif pada tahun 1955. Meskipun PAP hanya menjadi partai minoritas pada awalnya, Lee Kuan Yew berhasil menjadi perdana menteri setelah Singapura memperoleh self-governing pada tahun 1959.

Lee   Kuan   Yew   memimpin   Singapura   dengan   pendekatan   otoriter,   mengedepankan kepentingan komunitas daripada demokrasi liberal untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Menurut Bell (dalam Natalia), Lee Kuan Yew memegang kekuasaan di Singapura hingga tahun 1990 dan mengimplementasikan batasan-batasan terhadap Kebebasan dalam demokrasi untuk menjaga warisan budaya komunitas. Lee meyakini bahwa identitas tradisional Asia sulit untuk diubah secara instan dan menerapkan demokrasi ala Barat dapat menyebabkan masalah seperti peningkatan kriminalitas, peningkatan jumlah keluarga tunggal dengan anak-anak nakal, dan peningkatan penggunaan narkoba yang akhirnya dapat menyebabkan kemiskinan. Lee menekankan bahwa Singapura lebih memprioritaskan kepentingan komunitas daripada demokrasi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap stabil. Selanjutnya, Lee menerapkan kepemimpinan semi otoriter untuk menjaga stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang seimbang. Warga negara yang mematuhi hukum, bekerja keras, dan bersikap mendukung terhadap pemerintah tidak perlu takut terhadapnya. Namun, bagi mereka yang mengkritik atau menantang pemerintah, mereka mungkin menghadapi masalah.

Singapura memiliki keunikan dalam menggabungkan kebijakan politik dan ekonomi, yang membuatnya dikenal sebagai rezim otoriter-kapitalis. Pemerintah Singapura menciptakan sistem keamanan nasional yang membangkitkan rasa takut yang abstrak tanpa penyebab yang kurang jelas, dan memberlakukan hukuman yang diberikan oleh pemerintah. Menurut Lingle, kombinasi ini menjadi kunci dari apa yang disebutnya sebagai mobokrasi, atau demokrasi ala Asia. Pemerintah PAP yang berkuasa menerapkan sistem “memerintah dengan intimidasi,” menggabungkan unsur-unsur Sistem demokrasi Barat yang diselaraskan dengan nilai-nilai

tradisional Asia. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan Singapura diklasifikasikan sebagai "hibrida" menurut Lingle pada tahun 1998.

Singapura telah berhasil mengimplementasikan empat kebijakan utama yang menjadi fokusnya dengan sukses. Pertama, meritokrasi telah menjadi pondasi kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Singapura. Hal ini memastikan bahwa individu yang paling kompeten dan berbakat menduduki posisi-posisi penting dalam berbagai sektor, dari pemerintahan hingga bisnis, sehingga memaksimalkan potensi negara. Lee Kuan Yew menjelaskan bahwa meritokrasi bukan hanya memilih individu berdasarkan kinerja atau hubungan pribadi, tetapi juga mempertimbangkan usia seseorang, yang berarti promosi ke posisi tertinggi dalam pemerintahan tidak selalu diberikan kepada mereka yang paling senior.

Kedua, Singapura telah aktif dalam memerangi korupsi dengan menjalankan undang-undang dengan ketat dan terus-menerus direvisi serta didukung oleh lembaga-lembaga independen yang bertugas menindak tindak korupsi. Sebelum Singapura merdeka secara resmi, People Action Party (PAP) telah mulai mengambil langkah-langkah yang komprehensif dalam memerangi korupsi. Mereka mengadopsi dua pendekatan utama: pendekatan kelembagaan dan pendekatan regulasi. Salah satunya adalah dengan merumuskan POCA (Prevention of Corruption Act), yang memperluas cakupan untuk mencegah korupsi, dan memperkuat peran CPIB (the Corrupt Practices Investigation Bureau) dalam meringkus dan menyelidiki orang yang dicurigai melakukan korupsi, termasuk pemeriksaan rekening bank dan aset lainnya. Hal ini membantu memastikan integritas dan transparansi dalam pemerintahan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

ketiga, pemberian gaji yang kompetitif kepadapegawai publik telah membantu menarik individu yang berkualitas dan berbakat untuk bergsbung dalam sektor publik. Gaji yang layak ini juga menjadi faktor penting dalam mencegah praktik korupsi, karena pegawai publik tidak merasa perlu untuk mencari penghasilan tambahan melalui jalur yang tidak etis. Pemerintah PAP memiliki tiga alasan utama di balik keputusan tersebut. Pertama, mereka ingin memastikan agar sektor publik diisi oleh individu terbaik dan cerdas, bukan oleh mereka yang sebelumnya tidak mampu bersaing di sektor swasta. Kedua, peningkatan gaji bertujuan untuk mengurangi risiko korupsi dengan memastikan pemimpin politik dan pegawai negeri senior dibayar secara layak. Ketiga, upaya ini dilakukan untuk menarik individu terbaik dan cerdas  Ketiga, upaya ini dilakukan untuk menarik individu terbaik dan cerdas mdj Ketiga, upaya ini dilakukan untuk menarik individu terbaik dan cerdas ke sektor publik, sejalan dengan prinsip meritokrasi yang ditekankan oleh pemerintah Singapura. Ini merupakan bagian dari upaya yang berkelanjutan untuk memastikan pemerintahan yang efisien dan meminimalis kesenjangan penghasilan antara sektor swasta dan publik.

Keempat, Singapura telah berhasil menciptakan budaya kepatuhan terhadap hukum di masyarakatnya. Stabilitas sosial dan politik yang dihasilkan dari kepatuhan ini menjadi landasan  yang  kokoh  untuk  transformasi ekonomi  yang  sukses.  Dengan  mengedepankan supremasi hukum, Singapura menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi, inovasi, dan  pertumbuhan  ekonomi yang  berkelanjutan.  Chan  (2015: 45-48)  mengemukakan  tiga prasyarat yang harus  dipenuhi. Pertama,  lembaga peradilan harus memiliki independensi sehingga para hakim dapat menuntaskan perselisihan secara adil dan tanpa keterlibatan politik. Kedua, untuk menjaga ketertiban dan hukum serta menghasilkan lingkungan yang aman,penting untuk  memberlakukan hukuman  yang sesuai dan  juga efektif, serta menegakkan undang-undang tanpa memandang siapa pun. Ketiga, setiap negara perlu memiliki peraturan yang mendorong stabilitas sosial, pertumbuhan ekonomi, harmoni antar kelompok ras dan agama, serta menanggulangi aktivitas yang merugikan seperti terorisme, korupsi, peredaran Meskipun kritik terhadap gaya kepemimpinannya yang otoriter, Lee Kuan Yew dianggap berhasil dalam memajukan Singapura secara ekonomi dan sosial. Otoritarianisme Lee Kuan Yew di Singapura bisa diamati dari berbagai aspek selain dari penerapan Asian Values sebagai justifikasi atas rezim otoriter tersebut.

Salah satu aspek yang paling mencolok adalah pembentukan sistem partai yang berkuasa di Singapura yang sering disebut dengan state party. Partai yang didirikan oleh Lee Kuan Yew, yaitu PAP, menguasai pemerintahan Singapura dengan cara memanipulasi hukum, melakukan Perubahan baru dalam pelaksanaan pemilihan umum, membatasi diskursus masyarakat, dan menghadirkan hambatan untuk partai oposisi. Sebagai partai yang memegang kendali, PAP mempunyai keuntungan dalam memengaruhi sistem pemungutan suara dan menentukan jadwal pemungutan suara.

Dengan mewujudkan sistem otoriter ala Asian Values, Pemerintahan Lee berhasil membawa Singapura mencapai peringkat kedua dunia dalam Indeks Sepuluh Kebebasan Ekonomi yang dikompilasi oleh The Heritage Foundation, dengan skor rata-rata 88.0. Ini melibatkan keempat aspek utama: peraturan hukum, pemerintahan yang terbatas, efisiensi regulasi, dan akses pasar yang terbuka.

Menurut Dubrin, kebanyakan pemimpin karismatik dapat memotivasi dan menginspirasi orang, namun umumnya tidak memiliki kemampuan untuk membuat perubahan yang signifikan seperti pemimpin transformasional. Berdasarkan yang telah disebutkan di atas, Lee Kuan Yew berhasil mengubah Singapura secara signifikan dengan visinya yang ambisius untuk membuat negara tersebut menjadi lebih baik. Dalam bukunya,“Hard Truths to Keep Singapore Going”, Lee Kuan Yew menegaskan bahwa keselamatan nasional, pertumbuhan ekonomi, dan isu-isu sosial adalah prioritas utama selama pemerintahannya. Pendekatan yang jujur dan terbuka terhadap masalah-masalah tersebut membantu memperkuat fondasi pemerintahannya. Dengan visi yang kuat, kepemimpinan yang tegas, dan kebijakan yang inovatif, Lee Kuan Yew telah mengubah Singapura menjadi negara maju yang diakui secara global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun