***
Sanae berjalan menyusuri pantai dengan ombak yang tak terlalu besar. Terus berjalan menyisakan jejak kaki yang tak terhapus oleh ombak. Di kejauhan tampak Hanam rebah di atas hamparan pasir pantai, mengarahkan wajah ke langit dan sedikitpun tak terusik oleh riak air laut yang menyentuh kedua kakinya. Kedua matanya tertutup, Sanae duduk mendekati wajah itu. Membisikkan kata-kata dengan harapan Hanam mengetahui keberadaannya. Namun, ia tak juga membuka mata.
"Tanganmu begitu lembut dari ribuan kata-kata. Begitu suci hingga tak layak untuk kusentuh dengan bibirku." Ketika tangan Sanae telah menyentuh lembut bibir Hanan tiba-tiba terdengar ketukkan pintu yang membangunkannya dari mimpi.
"Nae, ayo bangun. Bantu ibu memasak." Suara ibu berteriak di balik pintu benar-benar telah merusak mimpi indah gadis itu.
"Ahh,, iya."
Andai ada yang tahu bagaimana cinta telah menemukan tempatnya dan membuat dunia menjadi indah. Sanae ingin melihatnya.
Seseorang pernah bilang jika kau ingin menemukan cinta. Maka tutuplah matamu, bayangkan kau sedang duduk di lautan zamrud yang bersinar. Dengan ombak yang bergemericik dan pantai yang indah, kamu bahagia dan tenang. Putar kepalamu ke samping dan lihat wajah yang tersenyum. Wajah siapakah itu?
"Hanam ...."
Siang ini, sekali lagi Sanae melihat Hanam merebahkan badannya di rerumputan belakang sekolah. Di satu telinganya tertancap sebuah headseat sementara satu sisi lainnya dibiarkan begitu saja. Mata sendu itu terpejam rapat. Ia tak sama sekali terusik dengan kehadiran Sanae. Gadis itu mengambil satu sisi heandset yang terbiar, menancapkan di telinganya sendiri. Lagu someone like you milik Addele membuat suasana siang itu begitu sejuk.
Sanae memainkan bayangan tangannya tepat di atas dada Hanam. Bayangan tangan itu terus bergelak liar menjelajahi leher putih, terus bergerak ke atas menyentuh pipi, dan berhenti di bibir Hanam yang setengah terbuka.
"Aku merasa ada setan di dalam diriku, menunggu untuk merobek tubuhku dan keluar."
"Apa yang kau katakan?" Hanam bertanya sore itu. Tak terasa waktu begitu cepat bagi keduanya.
Hujan tiba-tiba turun, Sanae dan Hanam berlarian menuju gerbang sekolah tempat motor Hanam terparkir. Masih dengan wajah yang dingin melebihi dinginnya hujan kali ini, Hanam memaju motornya kencang-kencang. Membuat kedua lengan Sanae memeluknya erat dan menyandarkan kepala dengan manja di bahu Hanam.
"Han, maukah kauselalu bersamaku?" teriak Sanae dalam deras hujan.
"Dengan satu syarat."
"Apa?" tanya Sanae
"Berjanjilah asalkan kau tidak mencintaiku."
"Ahh ...."
Tiba-tiba semua menjadi dingin melebihi gigil hujan malam ini. Meskipun di rambut gadis itu tersemat jepit rambut matahari yang siang tadi Hanam sematkan. Sama sekali tak menghalau kebekuan hati keduanya.
***