"Kenapa? Apa kamu keberatan?" Ibu berkata ketus. Sungguh aku tidak menyangka kalau kecemburuan dari anak lelakinya selama ini masih juga tidak diketahuinya.
"Punya anak lelaki besar tapi tidak berguna. Seperti manusia tanpa hati," lanjutnya.
"Kalau Ibu ingin tahu kenapa Mas Kaka begitu, kenapa tak Ibu tanyakan?"
Ibu masih juga diam, namun terselip sedikit senyum kecut di bibirnya.
"Rupanya tumpukan kecemburuan anak lelaki sendiri saja Ibu tidak mengetahuinya. Sebab materi tidak mampu sekali saja menyingkir dari pikiran dan mata batin ibu."
"Apa maksudmu," geramnya.
"Lelaki penyayang itu saat ini sedang kehilangan keyakinan, apakah masih bisa menukar kasih sayang dengan sorga. Sementara harta berlian tak pernah sampai di genggamanya. Dan ibulah sorganya."
Kutinggalkan Ibu dengan kata-kata yang menggantung, jika ia masih punya kemampuan untuk mencerna kata-kataku, adalah berkah. Besok akan hancur kecemburuan dan patah hati yang telah beberapa waktu ini menghabisi setiap sendi Kaka. Lelaki terkasihku.
Pergiku ke tempat kerja sore ini, langit-langit di atas sana tampak gelap. Namun, bintang mulai samar-samar tersenyum, juga angin-angin kecil mengerak-gerakkan rambut kecil-kecil. Kurasakan seperti elusan tangan Kaka yang hangat, sehangat selimut Ibu pertama kali menyelimuti tubuh kekasihku itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H