Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rindu Separuh

6 Juni 2022   19:52 Diperbarui: 6 Juni 2022   20:16 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jika tidak menuruti aturan di rumah ini, pergi ...."

Kulihat lelaki penyayang itu masih berusaha menjelaskan dan memberi pembelaan atas kesalahanku. Namun bagi bapak sekecil apapun kesalahan tetaplah kesalahan, khususnya mengenai peraturan yang ada di rumah ini.

Kulihat gurat di kening kekasihku itu, gigi yang gemeretak terdengar di telinga. Namun, tak sedikitpun kemarahan keluar dari mulutnya, mungkin saja saat gigi geraham itu saling beradu, telah habislah kemarahan-kemarahan dikunyahnya.

Puncak-puncaknya kami hanya saling bersedu-sedan. Ia di sampingku yang telah mati keberanian. Ia mengangkat kepalaku dan membawa ke pundaknya untuk bersandar. Sementara tangannya masih asyik mengelus wajahku yang pias. Aku mendekap lelaki sabar itu kuat-kuat. Sementara meratap cukup hanya di dalam hati kami saja.

***
Pulang ke rumah, aku heran melihat wajah Kaka masih saja bersinar terang. Mengalahkan sinar rembulan tanggal lima belas, sementara aku melihat wajah-wajah asing yang hanya mengenal materi dan kejayaan seperti Gerhana bulan total--pekat dan mencekam.

Magrib menjelang. Kaka dan aku melangkahkan kaki satu-satu di tangga depan pintu. Mata anak-beranak yang ada di dalam rumah itu seperti menyimpan kerikil merah yang siap untuk dilemparkan ketika ada sedikit kegaduhan yang tak disengaja, sebagai bentuk kewaspadaan. Kami saling mengumpulkan keberanian, kasih sayang yang nyaris terkikis kami rapatkan demi menghadapi dinginnya kehidupan yang akan datang. Tak dapat terbayangkan bagaimana gigilnya.

Malam agaknya menjadi satu-satunya kebebasan. Ketika kamar 3x4 meter menjadi milik kami sepenuhnya. Pintu penghubung antara lantai bawah dengan kamar di atasnya telah terkunci ganda. Ya, sekali lagi ganda. Aku tak ingin nantinya menjadi permasalahan kembali, yang akan membuat lelaki penyayangku itu menahan dera sebab terpasungnya kebebasan guna melakukan pembelaan. Aku baru sadar, sebab apa kami mengikat amarah kuat-kuat?  Kami duduk dan memandangi langit-langit di teras depan kamar, dan sesekali mengusap air mata agar pandangan surga di atas sana tidak terhalang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun