Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumi yang Meremaja Kembali

12 April 2022   03:07 Diperbarui: 19 April 2022   21:15 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sontak ketakutan menjalar di sekujur tubuhmu. Tatkala ibumu hendak pergi ke halaman rumah sebelah, melayani tamu-tamu undangan. 

"Wis ya Cah Ayu. Ibu tak bantu-bantu, kasihan tidak ada perempuan di rumah sebelah."

Mendadak kau terkejut, ketakutanmu meluap. Ketakutan semua orang meninggalkanmu tak bisa kautahan. Lantas kau mundur beberapa langkah hingga tubuhmu membentur meja di belakang. Tubuhmu bergetar hebat, tak kuasa mengendalikan ketakutanmu. Kau ingin berteriak jangan pergi, tetapi suaramu tertelan suara musik dangdut hajatan.

Peluh mengucur deras, bayang-bayang tubuh ibumu direnggut oleh mereka terlihat jelas. Kembali bibirmu ingin berteriak, "Ibu jangan pergi." Lagi-lagi kau tak kuasa. 

Spontan tanganmu mendarat di pipimu, berulang-ulang. Mendorong kepalamu ke dinding kamar. Tak juga bayangannya pergi. Bayangan lelaki itu saling lempar senyum dengan pengantinnya. Bayangan Ustad Mansyur berbagi peranan dengan ibumu. Bayangan adik-adikmu bersama keluarganya. Kau berusaha menghapus bayangan-bayangan itu. Dengan panik kau berusaha pergi menjauh dari suara-suara pesta dan tawa para undangan. Namun ruangan itu terkunci rapat, dan kuncinya pasti disembunyikan oleh ibumu.

***

"Anas, aku tak setua yang kau lihat," teriakmu.

Teriakanmu seperti sedang bersaing dengan deras hujan malam ini. Bayang-bayang itu tak juga mau pergi. 

Kau mengunci kamar dan duduk di depan cermin mematut dirimu begitu cantik. Menguncir dua rambut panjangmu, menyematkan pita berwarna merah muda. Sangat serasi dengan gaun renda merah muda yang dibelikan bapakmu sebagai kado ulang tahun yang ke tujuh belas.  

Tubuhmu meremaja, kau tersenyum. Bernyanyi lagu-lagu cinta, sesekali berteriak meluapkan rasa cinta dengan air mata yang tak kuasa kau bendung. Kau berhenti menyanyi dan berteriak, kau menajamkan telinga. Kalau-kalau suaranya memanggilmu. Kau tak pernah lupa bagaimana suaranya mengaji setiap malam kamis di masjid tempat kalian biasa bertemu. Di masjid tempat ia menjadi khatib setelah pulang dari pesantren menggantikan bapaknya. Kau lupa sudah berapa malam kau selalu sendirian di dalam kamar. 

Tiba-tiba suara pintu kamarmu di ketuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun