Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Lilin: Orang-Orang yang Merasa Tidak Aman

18 Desember 2021   23:47 Diperbarui: 18 Desember 2021   23:49 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekelompok orang duduk di balai-balai bambu di tengah komplek perumahan sederhana. Dengan suara tumpang-tindih mereka terus saja bersuara nyaring. Suara-suara ketidaksenangan terdengar bagi siapa saja yang lewat, tidak terkecuali aku. 

Telah begitu lama sebenarnya ingin kuikut bersuara, menengahi suara-suara ketidaksenangan orang-orang pada petugas jaga komplek. 

Petugas jaga komplek itu sebenarnya tidak terlalu berguna menjaga keamanan. Tugasnya tidak lebih hanya berkeliling blok, lalu memukul tiang listrik sesuai dengan hitungan jam. Selebihnya tidak ada. 

Warga komplek merasa bahwa pekerjaan petugas jaga bisa lebih daripada itu, jika saja yang menjadi pekerja bukanlah Dedik. Seperti beberapa waktu yang lalu ketika seorang penjambret melarikan diri dari kejaran korbannya serta pengendara motor yang ikut mengejar jambret, Dedik justru membukakan pagar komplek untuk penjambret itu masuk dan keluar komplek, guna melarikan diri. 

Sebuah mobil berhenti di antara kerumunan orang-orang di balai itu. 

"Bodoh banget sih, bisa-bisanya tidak mengenali antara penghuni komplek dengan penjambret?"

Orang yang baru saja turun dari mobil langsung ikut mengumpat. 

Orang-orang langsung bersuara riuh kembali. 

"Sepertinya ini bukanlah masalah yang sepele," kata orang itu sekali lagi. 

"Besok-besok pasti lebih meresahkan daripada ini," kata salah satu warga lainnya.

Aku yang sedang berjalan menuju warung tak sengaja menangkap dengar apa yang orang-orang itu bicarakan. Aku sangat kesal mendengarnya. 

Aku dan anakku juga salah satu penghuni lama di komplek perumahan ini. Rumah ini adalah satu-satunya harta peninggalan suamiku, selain daripada anakku. Suamiku meninggal tatkala usia pernikahan kami masih seumur jagung. Kecelakaan motor di pagi hari saat perjalanan ke kantor pemerintahan, telah merenggut nyawanya. Waktu itu bayiku masih berumur dua bulan. 

Uang tunjangan dari kantor tidak mungkin bisa menopang seumur hidup kami berdua, hal itu membuatku harus putar otak. Maka kupilih sebagai seorang karyawati pabrik rokok di kota ini. Dengan susah hati setiap pagi kutitipkan bayiku pada seorang tetangga depan gang. Bagaimana perhatiannya seorang ibu penjaga tidak akan sama dengan ibu kandung. Bahkan ketika tubuh bayiku panasnya mencapai 37 derajat, ibu penjaga itu hanya menempelkan kain basah sebagai pereda panasnya, dan tidak membawanya ke dokter. Alhasil sejak saat itu ada kerusakan otak pada bayiku disebabkan demam yang tidak cepat tertolong.

Aku kesal sekali orang-orang di balai itu tidak menghentikan obrolan mereka, bahkan ketika aku melewati mereka. Padahal di antara mereka-mereka kutahu dengan jelas ada sebagian yang mengeluh jika mendapat giliran jaga kampung. Banyak alasan yang dipilih, mulai kurang enak badan, sibuk lembur kerja, anak sedang sakit, sekedar bisa mengganti giliran jaga dengan sepiring pisang goreng atau seteko kopi hitam. 

Sementara itu, bayaran penjaga kampung tidak lebih mahal daripada harga sepiring pisang dan seteko kopi. Begitu juga masih dipermasalahkan. Jika saja Dedik pintar menghitung tentunya bayaran itu tidak akan cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, bahkan untuk dirinya sendiri.

Memang Dedik telah berulang kali diberhentikan, digantikan orang lain. Tetapi pada akhirnya kembali Dedik lah yang bertahan. Usia Dedik yang masih muda dan juga keikhlasannya menerima berapapun gaji yang diberikan kepadanya, selain daripada itu Dedik sangat membutuhkan pekerjaan ini. Hal inilah yang membuat beberapa orang masih menpertahakannya. 

Dua minggu yang lalu, Pak Karto meminta maaf atas nama seluruh warga komplek karena telah memberhentikan Dedik. Pria berusia dua puluh tahun, bertubuh gempal itu sama sekali tidak merasa keberatan. Dengan senyum ramah, ia berkata tidak apa-apa. Meskipun besok-besok ia pastinya akan menambah daftar pengangguran di negeri ini. 

Pak Karto sebenarnya ingin menjelaskan situasi dan alasan-alasan kenapa sampai saat ini masih mempekerjakan Dedik sebagai penjaga perumahan, meskipun jelas-jelas kinerja Dedik tidak seperti penjaga keamanan profesional lainnya. Namun lagi-lagi Pak Karto merasa hal itu tidak ada gunanya lagi. Kemarahan dan kekecewaan warga lainnya lebih diutamakan daripada senyum seorang Dedik. 

***

"Maaf, Bapak tidak bisa membela Dedik lagi, Bu."

"Tidak apa-apa, Pak. Kalau tidak begini Dedik tidak akan pernah mau istirahat."

"Saya sungguh-sungguh menyesal, Bu."

Mendengar permintaan maaf Pak Karto membuatku menjadi semakin kesal. Aku kesal karena meskipun Dedik sudah tidak lagi bekerja, tetap saja mereka membicarakan ketidakbecusan pemuda itu. Mereka tidak menyadari dengan ketidakbecusan pemuda itu tidak sama sekali menanyakan berapa besar gaji yang pantas untuk seorang penjaga keamanan. Sesungguhnya tidak hanya Dedik yang membutuhkan pekerjaan ini, mereka justru lebih membutuhkan seorang Dedik daripada sekedar beralasan tatkala ingin mangkir dari giliran jaga. 

"Tidak apa-apa, Pak. Justru dengan kejadian ini memberi pelajaran bagi Dedik. Untuk lebih menjaga dirinya sendiri daripada menjaga keamanan orang-orang yang merasa hidupnya selalu tidak aman." 

Dengan inisiatif sendiri, kutinggalkan Pak Karto dengan beberapa warga yang berencana ingin menemui Dedik. Namun kunjungan dengan cara bergerombol dan ramai-ramai begini tidak akan mendapatkan izin dari kepala perawat. Karena nantinya akan membuat pasien blok B RSj Menur merasakan ketidaknyamanan.

surabaya, Desember 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun