Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Kalideres

12 Juli 2021   21:54 Diperbarui: 12 Juli 2021   21:57 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mau?" tawarku sembari memberikan sekotak rokok penawar kesendirian. "Meskipun pemikiran Nikotin mampu menghilangkan keresahan tidaklah benar, buktinya pabrik rokok masih berjaya di negara tercinta kita ini."

"Berjaya."

Lalu kita tertawa bersama, berjaya bagi mereka yang duduk di tampuk kekuasaan. Yang dari kantor-kantor pabrik rokok itulah kantong mereka terisi. Tetapi bagi para buruh pekerjanya, hanya mampu mengerik seperti jangkrik di malam hari, ketika gerbang-gerbang pabrik itu terbuka untuk melepaskan mereka keluar dari kandang besi menuju kandang kayu rumahnya sendiri.

"Hei, Mbak 'yu," kata lelaki itu. "Terbanglah seperti Elang yang gagah. Menembus cakrawala dan kesakitan-kesakitan masa usia empat puluh," lanjut laki-laki itu. "Pada usia itu Elang dihadapkan pada dua pilihan mati atau hidup dengan terus berjuang." 

"Menunggu mati atau melalui proses transformasi berhari-hari?" tanyaku langsung. "Tapi aku tak punya cakar dan paruh tajam!"

"Lalu kau tunduk dengan kegagalan hidup? Menangis? Jangan cengenglah ... cuih!" Lelaki itu meludah. Bibirnya tersenyum asam lalu diambil rokok sebatang dari kotak yang kutawarkan tadi.

"Kita itu dilahirkan bersamaan dengan air mata dan tawa," kata lelaki sambil menyulut rokok di ujung bibirnya. 

"Bayi terlahir pertama kali menangis dan tawa hadir di bibir orang tua kita. Jika kita hanya mengambil air mata saja, lalu tawa itu jatuh pada siapa? Orang lain?" Asap mengepul dari mulutnya dengan bebas ke udara, seperti hidup yang kuingin. Hidup untuk diri sendiri bukan untuk sebagaimana yang orang katakan.

"Di jakarta aku hidup dan besar dari dunia sepertimu, sepertiku. Mudah terjebak dan terjerumus ke dalam persoalan hidup dan nasib buruk karena papan pijakkan hanya papan rapuh kemiskinan." Mata lelaki di sampingku menerawang jauh. 

Masih lanjutnya, "Aku melihat mereka sebagai perempuan-perempuan dan korban penjajahan cinta, seakan memiliki kekuatan untuk bangkit." Wajah pria di sampingku tiba-tiba nampak begitu mendung. 

"Meskipun tak sedikit juga yang memutuskan gantung diri dengan menenggak banyak-banyak minuman keras dan narkotika," lanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun