Mohon tunggu...
Meicky Shoreamanis Panggabean
Meicky Shoreamanis Panggabean Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis biografi BTP dan Munir

www.gurupenulis.weebly.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Enam Tantangan untuk Dr.Yulian Paonganan Tentang Jokowi-Ahok

11 September 2015   15:29 Diperbarui: 18 Desember 2015   13:53 15970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peringatan:Jika di dekat Anda ada anak kecil, tunda dulu baca artikel ini karena di sini ada screenshots twit yang sangat nggak pantas dibaca mereka. Twit-twit itu  tidak termasuk twit  kasar untuk standar Doktor Yulian Paonganan tapi termasuk sangat kasar untuk sebagian besar orang terutama anak kecil.Terima kasih.

______________________

Bapak Doktor Yulian Paonganan yang terhormat,

Anda berjasa besar dalam hidup saya.  Tiap kali membaca twit Anda,  diri saya selalu  melimpah dengan ucapan  syukur,”Untung….Bukan anak gue yang kayak gini…Untung bukan suami gue” dan,tentu saja,”Untung bukan gue…”.

Pak Doktor, akademisi  biasanya erat dengan dua hal:Bersikap obyektif dan berpikir kritis. Dua hal ini tak bisa HANYA dipakai saat mengajar dan  sebelum atau sesudahnya ditanggalkan. Oleh karena itulah saya takjub melihat twit Anda,seorang dosen, begitu jauh dari dua hal tersebut. Akademisi yang bisa seenaknya menanggalkan dan mengenakan dua hal itu tentulah  menderita kepribadian ganda, minimal punya potensi dahsyat untuk itu.

#Analisa abal-abal #Abaikan   

Pak Doktor, Twitter adalah ranah publik. Sebagai akademisi Anda punya tanggung jawab moral untuk mencerdaskan  masyarakat, bukan hanya dari dalam kelas  namun juga  dari luar kelas. Akademisi, apalagi bergelar doktor, dituntut untuk punya etika dan etiket yang tinggi, bahkan sangat mungkin lebih tinggi daripada rata-rata masyarakat pada umumnya.

Tuntutan ini lahir karena proses pendidikan yang dialami  seseorang bisa dimaknai secara luas, bukan hanya proses belajar  di dalam kelas melainkan juga film yang ditonton, pertunjukan politik yang disaksikan, media yang dibaca…Macam-macamlah.

Pak Doktor, Anda jadi akademisi niatnya cari hidup dari dunia pendidikan atau menghidupi dunia pendidikan,sih ?  Tidakkah Anda pernah berpikir bahwa sebagai dosen Anda  terikat dengan kode etik,  yaitu bahwa nama almamater mesti dijaga dan sikap serta kata-kata Anda harus dikelola dengan bijak ?  Bukan hanya di kalangan internal, yaitu kampus Anda, melainkan juga di hadapan umum ? Kalau saja Anda kerja di UGM, pasti Anda sudah diseret ke  Komisi Etik.Lha  cewek yang satu kali menghina warga Yogya  dan sultan aja disidang kok, padahal dia ‘hanya’ mahasiswa,bukan dosen, sementara Anda minimal sudah puluhan kali menghina dan memaki sebagian rakyat negara ini, gubernur Jakarta serta  presiden Indonesia.

Saya  takjub dengan  semangat  Anda untuk menodai bidang yang selama ini memberi Anda penghidupan. Tidakkah Anda merasa berhutang budi pada kampus dan profesi yang sudah memampukan Anda untuk ‘eksis’ ? Kata eksis ada di dalam tanda kutip karena saya nggak tahu, sebagai manusia Anda itu sesungguhnya eksis atau hanya sekedar ada,sih?

Saya penasaran dengan militansi haters dalam memaki Jokowi dan Ahok . Workaholik, jujur dan cerdas memang kombinasi yang bawa sial bagi para perampok. Apa sekarang Anda lagi marah  karena merasa dituduh sebagai perampok atau berminat merampok ?   Saya nggak nuduh  apa-apa lho Pak soal itu,coba aja cek dari baris pertama. Jangan terlalu sensitif, nanti malahan  orang jadi nuduh bahwa Anda beneran mau ngobyek atau ngerampok tapi proposalnya ditolak Jokowi-Ahok.

Pak Doktor yang desain dronenya sungguh memancarkan aura kekinian, berhentilah mencemarkan  dunia akademik. Ini  wilayah yang semestinya jauh dari  prasangka dan kebencian. Ini adalah daerah yang semestinya bebas dari kata-kata rasis dan kalimat  pornografis.  Pendidikan  adalah tempat untuk menumbuhkan etiket dan etika hingga tinggi menjulang, menanam benih toleransi serta  bibit perdamaian.  Jadi, Anda sebagai akademisi saya tantang (1) untuk  mentwit dengan cerdas, kritisi kinerja Jokowi-Ahok dengan logis. Jangan memaki  lalu  ngeles,”Ahok maki-maki juga!!!” Kebodohan itu mbok ya  disembunyikan tho Pakkk...Bukan diumbar:Beliau memaki koruptor, Anda memaki orang yang memaki koruptor, beda ‘kan. Juga (2) jangan  bicara porno dan (3) jangan  menyebar link berita abal-abal yang diikuti dengan kalimat hasutan.

Sekarang tentang rasisme. Efek rasisme amatlah mengenaskan. Anda akademisi, cobalah cari literatur tentang  rasisme, bukan  hanya bisa menyampah di dunia maya. Korban perlakukan rasis bisa mengalami penurunan kondisi fisik, hidup dalam ketakutan, merasa inferior lalu depresi. Sementara pelakunya  berpotensi  untuk melakukan perusakan baik secara mental, fisik serta intelektual karena merasa superior (Contoh terbaik adalah, tentu saja, Anda sendiri). Jadi, saya juga tantang Anda (4) untuk berhenti melontarkan kata-kata rasis. Hentikan  mentwit kalimat yang merendahkan etnis apapun, dalam hal ini secara spesifik Anda kerap merendahkan  perempuan Tionghoa dan menghina etnis Tionghoa. Bersikeras untuk tetap rasis di era teknologi seperti ini hanya akan membuat Anda jadi salah satu orang yang paling layak dikasihani.

Anda lulusan S3.Dosen IPB,salah satu universitas terbaik di negeri ini.CEO atau direktur.Pembicara seminar.Pemimpin Redaksi. Pencipta drone (Aduh…Gemetar tangan awak ngetik ini…Keren kali lah kau ya…). Saya tantang Anda (5) untuk minta bertemu Ahok agar bisa mendebat beliau  tentang  mengapa Jokowi dan dirinya tak pantas jadi pemimpin. Doktor  dengan kualifikasi sementereng Anda tak pantas hanya berkoar-koar di sosmed. Temui langsung orangnya, tunjukkan  bahwa pengecut bukanlah nama tengah Anda. Nggak usah minta ketemu Jokowi, pasti ditolak. Kalo Ahok, walau kansnya menerima Anda  hanya 1%  tapi tetap ada kans, gitu lho. Kalo Ahok setuju bertemu, mintalah  agar rekaman pertemuan  jangan diupload ke YouTube, kasihanilah istri dan anak Anda. Kalo  Ahok menolak ketemu, Anda bisa ngetwit,”Preman Resmi DKI nggak  berani lawan doktor pencipta drone”.  Anda akan diundang TVO*e, bisa pajang miniatur  drone di meja wawancara, terus banyak  yang beli, jadi kaya lalu  nyagub dan nyapres, dikalahkan atau mengalahkan Ahok pada 2017 dan Jokowi di 2019.  

Tapi sebelum   dikalahkan mengalahkan Jokowi dan Ahok ,  (6) harap   Anda mengedukasi masyarakat. Ajarkan warga tentang mengapa  Jokowi dan Ahok tak pantas jadi pemimpin. Jika Anda memang  benar adalah orang terdidik, fokuskan materi edukasi pada kinerja mereka, bukan pada ras dan agama Ahok. Juga jangan melakukan black campaign tentang Jokowi.

Pak Doktor, akademisi semestinya  menyodorkan solusi, bukan jadi bagian dari masalah namun yang Anda lakukan adalah menyebarkan prasangka serta kebencian. Anda minta Ahok pulang kampung karena beliau minoritas ? Orang Toraja lebih sedikit jumlahnya daripada Tionghoa, kenapa tidak Anda saja yang pulang ? Fadli Zon orang Padang dan Padang lebih minoritas daripada  Tionghoa, kenapa bukan dia yang Anda suruh pulang ? Seorang doktor kok nggak tau bahwa sebagai sebuah bangsa kita disebut  Indonesia, tak ada istilah Jawa Hindu, Batak Katolik, Aceh, Padang berdarah Jerman, Dayak Muslim turunan Tionghoa atau  Menado  Kristen.  Anda nggak tau  Bhinneka Tunggal Ika, ya  ? Pernah baca teks Sumpah Pemuda ?  UU nomor 12 tahun 2006  Pasal 1 ?

Many are schooled but few are educated. Jika enam tantangan di atas tidak Anda penuhi, berarti  Anda sebagai dosen bergelar doktor merangkap pemimpin redaksi, pembicara seminar, CEO atau direktur, dan pencipta barang canggih, ternyata hanya  termasuk kategori yang  pertama: Bersekolah namun tidak berpendidikan.

Rasisme adalah gua persembunyian yang nyaman bagi mereka yang tak percaya diri, ketakutan, dan merasa terancam. Rasisme adalah tempat perlindungan bagi mereka yang merasa kecil dan inferior. Hidup Anda masih panjang, jangan sia-siakan. Carilah konselor, entah rohaniwan yang bisa Anda percaya, psikolog atau psikiater.

Sungguh, saya serius. Saya amat sangat serius. 

Jumat, 10/9/2015, jam  15.29  WIB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun