Selamat malam Bu, saya salah satu rakyat Ibu. Saya baru saja lihat artikel tentang Instagram Ibu di Facebook. Saya ngga main Instagram, ngga sempat.
Bu, saya pernah difitnah habis-habisan di depan atasan saya. Atasan saya waktu itu ngotot banget mau mempertemukan saya dengan orang yang memfitnah. Saya bilang begini,”Ngga usah. Dia mau bilang saya salah ngomong, bohong, saya ngefitnah, saya ngomongnya ngaco kek...Suka-suka dia aja. Kalau Ibu ngga percaya saya, ya ngga papa juga, terserah Ibu”. Namun, atasan saya tetap penasaran dan akhirnya saya dipertemukan dengan orang yang memfitnah. Sepanjang pertemuan, saya cuma bilang sekali dua kali “Ooo...OK, maaf ya”. Sebagai pihak yang benar, tentu saya bisa memperpanjang urusan hingga tuntas. Namun, saya tak mau melakukannya karena waktu dan energi saya terlalu mulia untuk saya pakai mengurus seorang tukang fitnah.
Bu, bisakah Ibu melakukan hal yang telah saya lakukan ? Bisakah Ibu cuek dengan berbagai komentar yang masuk ke Instagram Ibu ? Bu, bukan tanpa sebab saya memberi contoh diri saya sendiri di bagian atas. Izinkan saya untuk mengatakan, saya rakyat jelata. Saya orang biasa. Saya ngga pernah kuliah di luar negeri. Waktu SMP saya pernah hampir ngga naik. Kalau saya bisa sok cuek seperti itu, Ibu pasti bisa juga, eh....Apa itu tadi, sok cuek ?
Ya Bu, saya ngga salah ketik. Sok cuek. Saya difitnah dan sesungguhnya ngga bisa cuek beneran karena saya punya hati. Apalagi yang memfitnah itu saya lihat mukanya setiap hari, mustahil saya cuek beneran. Yang terjadi adalah saya sok cuek.
Bu, kita sama-sama yuk belajar cuek dengan komentar orang yang berpotensi membuat produktivitas kita menurun. Kita belajar cuekkin mereka yang keberadaanya membuat energi dan waktu kita terpakai untuk hal-hal yang tak ada gunanya. Kita belajar cuekkin mereka yang membuka peluang bagi nama baik kita untuk menjadi tercemar. Mari kita sama –sama belajar bahwa komentar di social media bukanlah sesuatu yang harus direspons. Kita sama-sama pelajari bahwa keinginan untuk memanfaatkan social media haruslah disertai dengan kematangan emosi. Proses awal sangat susah Bu, jadi di tahap awal, ngga apa-apalah ga cuek beneran. Sok cuek aja sudah cukup. Nanti kalo sudah kelamaan sok cuek, sudah terbiasa, pada akhirnya akan menjadi cuek beneran.
Ibu,
Saya ingin sekali melihat istana negara dan pertemuan dengan istri menteri dijadikan tempat dan sarana bagi seorang ISTRI PRESIDEN untuk membicarakan peran wanita terhadap pengembangan kehidupan finansial kaum perempuan di pedalaman. Bukan ajang curhat tentang sosial media.
Saya ingin sekali melihat istana negara dan pertemuan dengan istri menteri dijadikan tempat dan sarana bagi ISTRI PRESIDEN untuk mendiskusikan kiprah apa yang bisa dilakukan untuk membuat obat-obatan semakin mudah dijangkau oleh anak-anak di daerah terpencil....Apa yang bisa dikerjakan untuk menolong korban banjir...Sumbangsih apa yang bisa diberikan terhadap dunia pendidikan...Bukan ajang curhat tentang sosial media.
Ibu tahu kenapa ISTRI PRESIDEN saya tulis dengan huruf besar ?
Karena ISTRI PRESIDEN adalah orang besar, Bu, orang terhormat.
Menanggapi komentar di socmed secara emosional bukanlah ciri orang terhormat.
Merasa marah dan memutuskan untuk mengklik nama si pemberi komentar hanya karena ingin tahu siapa orang tersebut, adalah tanda bahwa yang mengklik kurang kerjaan. Orang terhormat tak pernah kekurangan pekerjaan.Otaknya selalu sesak dengan ide mengenai sumbangsih apa yang bisa diberikan untuk sesama.
Berkeluh kesah tentang masalah pribadi dalam forum resmi bukanlah ciri orang terhormat.
Rakyat lagi susah dan Ibu berhak untuk upload foto.
Tapi tolong, di forum resmi, bicaralah tentang kesulitan rakyat, tunjukkan keprihatinan Ibu, bukan mengumbar kekesalan Ibu terhadap rakyat.
Rakyat lagi prihatin dan Ibu berhak untuk upload foto.
Tapi tolong, berilah kata-kata dorongan pada rakyat yang sedang menderita, bukan berpanjang lebar menanggapi rakyat yang usil berkomentar tentang baju Ibas serta kamera Ibu.
Rakyat lagi sengsara dan Ibu berhak upload foto. Ibu berhak punya hobi dan lebih dari itu, atas nama kesehatan jiwa, Ibu harus punya hobi.
Tapi tolong, jangan katakan bahwa Ibu ngga mengurus banjir karena itu adalah hari libur. Di hari kerja Ibu main instagram juga ‘kan ? Lagipula bukankah bekerja beyond the call of duty adalah ciri orang terhormat ?
Rakyat lagi sengsara dan mereka letih melihat Instagram lebih menyita perhatian ibu negara mereka daripada kedukaan mereka.
Rakyat lagi....
Dan rakyat juga lagi...
Selain itu rakyat juga lagi.....
Ah, tiba-tiba saja saya jadi semakin sedih. Saya tak bisa paham sedikitpun cara Ibu memaknai posisi Ibu sebagai istri presiden dari negara keempat terbesar di dunia ini. Saya ngga habis pikir: Ibu...Ibu...Tidakkah Ibu paham bahwa rakyat Ibu yang sedang berduka lebih membutuhkan perhatian Ibu dibandingkan rakyat Ibu yang kerap muncul dengan komentar-komentar usilnya ?
Lippo-Cikarang,18/1/2014
23.32 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H