Warga Samarinda berharap Ahok menjadi gubernur mereka
(http://regional.kompas.com/read/2014/08/04/18403111/Warga.Samarinda. Berharap.Ahok.Jadi.Gubernur.Kaltim.Mengapa.). Jumlah penduduk Indonesia lebih dari 240 juta orang. 3,7 juta di antaranya menetap di Kalimantan Timur namun pilihan untuk memimpin propinsi tersebut jatuh pada Ahok. Di negara keempat sejagad yang lebih dari 32 tahun dicengkram pemerintahan tiran dengan jajaran birokrat korup yang beranak pinak dan susah disentuh hukum, pejabat seperti Ahok statusnya jadi mirip Gorila Gunung atau Buaya Filipina:Mahkluk langka.
Karena populasinya mendekati punah itulah, gue jadi jarang banget liat pemimpin yang hatinya benar-benar untuk rakyat. Gue terbengong-bengong waktu nonton video berikut untuk pertama kalinya (http://www.youtube.com/watch?v=LOQV6tFnFiw). Lihatlah, Ahok mendengarkan curhat seorang ibu pedagang kaki lima dan pertanyaan si ibu dijawab satu demi satu, beberapa di antaranya dengan panjang lebar. Gue takjub nonton film itu karena pejabat dan listening ears biasanya tak bisa disebut secara bersamaan dalam satu tarikan nafas. Jarak mereka berdua terlalu jauh.
Video lain bisa dilihat di link ini (http://www.youtube.com/watch?v=mhBRMrI_2do). Film ini di menit 37:03 menunjukkan Ahok, yang sedang diwawancara, diinterupsi oleh seorang ibu-ibu. Tanpa menghiraukan reaksi para jurnalis yang terkesan sedikit terganggu, Ahok merespons komentar ibu yang sedang menggendong anak balitanya itu. Akhirnya, mereka berdua terlibat dalam sebuah dialog.
Mungkin sebagian pembaca berkomentar,”Ahh..Apa sih istimewanya, semua yang ngga tuli juga bisa mendengar orang bicara”. Semua yang tak tuli memang bisa mendengar namun tak semua yang bisa mendengar rela untuk mendengarkan. Saat seseorang berbicara pada kita, suara mereka bisa jadi harus bersaing ketat dengan suara yang memborbardir kita dari dalam dan luar diri. Apalagi, jika kalimat-kalimat itu disampaikan oleh mereka ‘yang berbeda’. Hah, persaingan bisa tambah ketat.
Mendengar, saudara-saudaraku yang baik, bukanlah hal sederhana dan tak akan pernah menjadi sesuatu yang mudah. Benak setiap orang sesak dengan pemikiran dan ide-ide itu bisa sedemikian memenuhi kepala hingga saluran telinga tertutup rapat.
Jika kita merasa bahwa diri kita lebih baik daripada si lawan bicara, kita akan sulit mendengarkan.
Jika kita berpendapat kita sudah paham mengenai apa yang dia sedang dan akan katakan, kita akan sulit mendengarkan.
Jika kita merasa bahwa apa yang ada di pikiran kita lebih penting untuk diprioritaskan, kita juga akan kesulitan untuk mendengarkan.
Kemampuan untuk mendengarkan membutuhkan kerendahan hati. Semua orang yang tak tuli bisa mendengar. Namun, tak semua yang bisa mendengar rela untuk mendengarkan.
Pernah perhatikan gaya Ahok di berbagai wawancara dan acara bincang-bincang ? Berulang kali beliau memotong omongan reporter. Kalau rajin browsing YouTube, lo juga akan lihat bahwa ada video-video yang menunjukkan Ahok menjawab pertanyaan sambil menandatangani dokumen. Ga melulu telinga Ahok bisa dibuka lebar-lebar. Oleh karena itu, kerelaan Ahok untuk telaten mendengarkan rakyatnya berkeluh kesah menjadi amat istimewa. Di tengah-tengah kebiasaannya untuk memotong kalimat yang dianggapnya tak perlu, di tengah-tengah kebiasaannya untuk bicara secepat bunyi petasan renceng yang saling bersusulan, di tengah-tengah kebiasaannya untuk berpikir secepat bajaj belok, nalurinya sebagai pemimpin tetap terjaga. Kesediaan Ahok untuk mendengarkan rakyatnya serta-merta akan membawa benak kita kepada Woodrow Wilson. Presiden Amerika ke-28 ini pernah bertutur,”The ear of the leader must ring with the voices of the people."