“Indah mendadak sakit, Il. Pusing-pusing. Sekarang pulang ke kos.” Terang Risti kepada Mas Ilyas yang kusuruh menanyakan dimana keberadaan Indah.
“Tapi tadi dia baik-baik saja tuh?” Kata Mas Ilyas.
“Iya, tapi mendadak pusing. Sakit hati juga mungkin.” Lanjut Risti penuh penekanan disertai lirikan tajam kepadaku. Selama ini dialah sahabat Indah yang paling aktif menerorku.
“Sakit hati?” Mas Ilyas tak mengerti.
“Iya, sakit hati atas pengorbanan yang tercabik. Atas bakti dan kesetiaan yang terdustakan.” Risti menjelaskan, masih sambil menatapku tidak suka.
“Maksudnya apa, Ris?” aku mengutuk diriku yang berani bertanya itu pada Risti. Namun Risti tak menjawab tanyaku. Ia masih berbicara pada Mas Ilyas dengan bahasa-bahasa implisit.
“Biarlah sekarang Indah yang merasa sakit hati yang teramat dalam. Nanti pada masanya, seseorang yang saat ini sedang berbahagia itu akan jatuh, tersungkur menderita. Menggantikan posisi Indah saat ini.”
Aku tak mengerti.
Dan aku semakin tidak mengerti ketika tiba-tiba perubahan drastis terjadi pada kehidupanku. Mas Ilyas menghilang dari jangkauanku. Ia tidak pernah lagi menelepon, SMS, apalagi mengunjungiku. Ia seperti menghilang begitu saja. Tanpa meninggalkan satu pun pesan. Semua SMS-ku tiada satu yang ia jawab. Semua diam. Semua bisu. Harapanku terkatung-katung tidak jelas.
Aku sibuk memikirkan Mas Ilyas sendirian. Beberapa waktu setelah tak juga ada kabar dari Mas Ilyas, aku bertekad mencarinya. Aku pun ke kampusnya, kutanya sana-sini.
“Ilyas sudah lulus, Mbak. Barangkali sudah pulang ke Palembang.” begitu kata seseorang yang tak kuketahui namanya.