[caption caption="ilustrasi, dokpri"][/caption]Sore kemarin saya belanja di sebuah supermarket dekat rumah. Dari rumah, saya sengaja membawa uang pas, dan segenggam uang recehan pecahan 100 dan 200. Saya tentu punya alasan kuat, mengapa saya seolah berjaga-jaga membawa senjata recehan tersebut. Dan ternyata kekhawatiran saya terbukti. Sama seperti biasanya, ketika uang kembalian kurang dari seribu rupiah, si kasir selalu menyodorkan permen sebagai pengganti uang recehan.
Sebetulnya ini adalah kekesalan saya untuk yang ke sekian. Tapi mungkin sore kemarin saya sedang benar-benar mencapai klimaks kekesalan setelah berulang-ulang si kasir ngeyel. Saya sudah berkali-kali membawa recehan sendiri dari rumah, mewanti-wanti kalo dikasih permen terlarang itu. Berkali-kali juga saya begur langsung kalau saya nggak mau dikasih uang kembalian berupa permen.
Saya dulu sampai menegur dengan judes, “Mbak, kalau saya nanti belanja ke sini saya bayarnya pake permen, gimana?”
Dan tentu saja, saya harus rela mendapatkan tatapan sinis dari kasir.
Sungguh, ini bukan lagi perkara ringan. Bahkan, saat ini perkara mengganti uang kembalian dengan permen, apapun alasannya, adalah SALAH!
Saya pribadi memang tidak terlalu suka makan permen, tapi bukan itu alasan saya menolak kelakuan para kasir ini.
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al Baqarah : 275).
Tahukah engkau, wahai pedagang, kelakuan memberikan uang kembalian berupa permen itu termasuk riba. Karena dalam transaksi tersebut ada pihak yang tidak ridho –dalam hal ini pembeli. Kebanyakan penjual/kasir ketika menyodorkan permen, mereka tidak berkata/bertanya apa-apa, misalnya: Maaf, apa Bpk/ibu bersedia saya ganti dengan permen? Tidak! Mereka cuma diam, dan langsung menaruh permen-permen kembalian itu di atas kertas struk belanja. Dan membiarkan penerimanya melongo. Suka atau tidak silakan segera pergi, begitu mungkin batinnya. Nah, inilah yang membuat cacat dalam akad jual beli. Kecuali memang ada akad yang jelas, pembeli rela dan ridho dikasih kembalian berupa permen, itu sah-sah saja.
Untuk pembaca yang seperti saya –yang sangat tidak suka dengan uang kembalian berupa permen- ada baiknya selalu menyediakan recehan (terutama pecahan 100 dan 200) di dompet. Jangan semua recehan masuk ke dalam celengan. Kalau saya pribadi, yang masuk ke dalam celengan cuma pecahan 500 dan 1000. Yang kecil-kecil masuk dompet buat jaga-jaga menghadapi pedagang/kasir nakal. Oya, saya mendapatkan banyak recehan 100 dan 200 dari para pedagang yang jujur.
Saya pernah berdiskusi hal ini dengan salah satu teman saya yang bekerja sebagai kasir. Katanya memang sulit sekali saat ini buat mendapatkan pecahan 100 dan 200. Itu tidak bisa dijadikan alasan buat seenak jidat menaruh permen ke atas kertas struk belanja pelanggan. Pembeli tidak akan mau tau hal itu. Jika memang tidak ada uang recehan untuk kembalian, sebaiknya tanyakan pada pembeli, mau apa tidak dikasih permen? Lengkap dengan permintaan maaf. Jangan asal aja.
Terakhir, saya mau memberi tahu pada pedagan/kasir yang masih nakal. Mengganti uang kembalian dengan permen adalah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman maksimal dua tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar.
Mari sejenak berpikir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H