Mohon tunggu...
Mei Juita
Mei Juita Mohon Tunggu... Akuntan - Wata Tnebar

Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak Universitas Mercu Buana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Tugas Besar 1 Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak: Sengketa Perpajakan

8 April 2022   00:01 Diperbarui: 10 April 2022   23:45 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan fakta tersebut, Wajib Pajak tidak setuju dengan STP yang diterbitkan DJP, dengan alasan dasar hukum yang digunakan DJP berupa surat internal adalah tidak benar, karena tidak sesuai dengan undang-undang PPN.

Untuk STP yang tidak sependapat, Wajib Pajak mengupayakan penyelesaian sengketa dengan mengajukan surat permohonan pengurangan atau pembatalan surat tagihan pajak yang tidak benar kepada DJP, dengan menggunakan landasan hukum Pasal 36 ayat (1) , huruf (c) Tata Cara Umum dan Ketentuan Perpajakan (UU KUP). Hasil dari upaya penyelesaian sengketa ini adalah DJP menolak permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Wajib pajak kemudian menempuh upaya hukum untuk penyelesaian sengketa lebih lanjut dengan mengajukan gugatan terhadap putusan DJP ke pengadilan pajak.

Hasil dari pengajuan gugatan tersebut adalah adanya putusan dari majelis hakim yang mengabulkan seluruhnya gugatan Wajib Pajak karena dasar hukum penafsiran yang digunakan oleh KPP adalah berupa surat intern, yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. undang-undang PPN.

Contoh dua: Perselisihan dalam jangka waktu

Karena tidak sesuai dengan Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. Dalam proses penyelesaiannya, DJP kemudian menerbitkan surat tentang pemberitahuan hasil penyidikan sebagai tanggapan atas surat permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Wajib Pajak diberi kesempatan untuk menjawab secara tertulis, disertai dengan data, bukti, dan dokumen pendukung, paling lama 10 hari sejak tanggal surat dan untuk menghadiri konferensi penutup. Dalam surat tersebut tidak disebutkan secara jelas apakah artinya 10 hari kerja atau 10 hari kalender. Meski demikian, surat yang disampaikan DJP menyebutkan bahwa jangka waktu 10 hari harus disebut 10 hari kalender dan bukan 10 hari kerja.

Hal ini kemudian menjadi persoalan karena, berdasarkan ketentuan, 10 hari dimaksud, seharusnya 10 hari kerja. Berikut petikan ketentuan yang bersangkutan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 1 Tahun 2017 yang merupakan ketentuan yang mengatur tata cara penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar:

 “Wajib Pajak dapat menyampaikan tanggapan tertulis atas surat pemberitahuan hasil pemeriksaan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 10 hari kerja terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan hasil pemeriksaan. pemeriksaan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.

Dalam ketentuan itu, tentang tata cara penyelesaian, dengan jelas disebutkan bahwa jangka waktunya adalah 10 hari kerja. Oleh karena itu Wajib Pajak memiliki dasar yang kuat untuk menyatakan keberatan atas jangka waktu yang disampaikan oleh DJP sebagaimana tercantum dalam surat DJP tersebut.

Upaya hukum yang ditempuh oleh Wajib Pajak adalah gugatan terhadap surat pemberitahuan hasil pemeriksaan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, yang diajukan ke pengadilan pajak. Secara khusus, gugatan tersebut menggugat bahwa DJP tidak memenuhi ketentuan formal dalam tata cara penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Hasil dari gugatan tersebut adalah putusan majelis hakim yang mengabulkan gugatan wajib pajak secara utuh.

Peraturan pajak dan sistem hukum

Khusus untuk perpajakan, Pasal 7 ayat (4) UU 12 Tahun 2011 mengatur jenis lain dari hierarki peraturan perundang-undangan, dan salah satunya adalah undang-undang perpajakan. Secara administrasi negara, otoritas di Indonesia yang bertanggung jawab di bidang perpajakan adalah Menteri Keuangan. Selanjutnya khusus untuk perpajakan, Menteri Keuangan dibantu oleh Dirjen Pajak sebagai struktur pemerintahan di bawah Menteri Keuangan. Hirarki peraturan perundang-undangan perpajakan adalah sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun