PENDAHULUAN
Wilhelm Dilthey dikenal sebagai sosok pemikir berkebangsaan Jerman yang kritis terhadap situasi intelektual jamannya. Pada abad 19, ilmu-ilmu alam menguasai wilayah intelektual Jerman dan Dilthey hadir sebagai sosok yang mengangkat problematika mengenai ilmu alam sebagai bukan satu-satunya ilmu untuk menjelaskan segala hal mengenai kehidupan. Ada ilmu lain yang berbeda dengan ilmu alam namun harus diberi tempat layak berdampingan dengan ilmu alam, yakni ilmu kemanusiaan.
Pemikiran Dilthey mengenai ilmu kemanusiaan ini merupakan salah satu dasar untuk memperkuat tema filosofis yang digelutinya, yang terkait erat dengan sejarah. Baginya, sejarah merupakan kunci memahami kehidupan manusia. Fokus penulisan filosofis Dilthey sendiri, sejak tahun 1864 hingga kematiaannya pada tahun 1911, adalah penulisan karya kritik terhadap Rasio Historis.
Dilihat dari fokus penulisannya di atas, Dilthey dapat disebut sebagai figur filsuf yang sangat menekankan aspek sejarah sebagai topik utama filsafatnya. Banyak pemikir yang mempengaruhi cara berpikir Dilthey, salah satunya adalah Rickert. Dari Rickert, Dilthey menemukan dua hal menarik yang perhatiannya, yakni: 1) Analisa epistemologi dari studi historis; 2) determinasi dari prinsip-prinsip umum yang ada dibalik interpretasi historis dan memberikan pengertian terhadap sejarah. Meskipun demikian, arah pemikiran Dilthey sendiri bukanlah sejalan dengan para neo-kantian seperti Ricket ataupun dengan Kantian Ortodox.
Dilthey memang mengakui pendapat Kant mengenai fakta kesadaran sebagai satu-satunya dasar aman untuk berfilsafat, namun apa yang terberi dalam kesadaran bukanlah semata-mata kesadaran rasional namun lebih kepada totalitas dari keseluruhan perasaan, kemauan, dan pikiran. Pemahaman Dilthey ini membawa konsekuensi pemahaman akan perolehan pengetahuan yang berbeda dengan Kant. Pada Kant, kegiatan manusia untuk mengetahui suatu objek (mendapat pengetahuan) merupakan kegiatan aktif subjek untuk mengkonstruksikan sesuatu dengan memakai kategori-kategori pemikiran yang bersifat apriori. Sebaliknya, Dilthey menolak adanya a priori. Baginya, segala struktur pemikiran berangkat dari pengalaman dan mendapat pengertiannya lewat relasinya dengan pengalaman. Pengalaman adalah dasar dari segala pengetahuan dan satu-satunya bukti mengenai apa saja yang ada.Pengalaman yang dimaksud Dilthey muncul dari realitas fundamental dimana ada interaksi kesatuan diri manusia (pikiran-tubuh) dengan lingkungan fisik dan sosial manusia. Dengan demikian, kehidupan, pengetahuan, aktivitas dan kontemplasi secara keseluruhan terikat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Struktur kompleks dari pemikiran dan tindakan ini haruslah menjadi dasar dari filsafat mengingat realitas merupakan proses interaksi keduanya. Inilah yang disebut Dilthey sebagai filsafat kehidupan. Hidup adalah kepenuhan, variasi dan interaksi-dalam sesuatu yang berkelanjutan- yang dialami individu. Sehingga, subjeknya sangat identik dengan sejarah. Kehidupan atau kata “hidup” dipakai Dilthey untuk merujuk pada kehidupan manusia, yakni kehidupan umat manusia dengan pencapaian historisitasnya dan sedikit relasi terhadap bentuk-bentuk biologis kehidupan manusia.
Karya tulis ini akan secara umum menggambarkan bagaimana filsafat hidup yang sangat lekat dengan studi sejarah ini dipahami sebagai salah satu cara mencerna realitas kehidupan manusia yang bersifat historis dan menghasilkan pengertian terhadapnya.
ILMU KEMANUSIAAN DAN EKSPRESI-EKSPRESI KEHIDUPAN YANG MEMBAWA PEMAHAMAN
Pada bagian pendahuluan telah sempat disinggung bahwa untuk memahami kehidupan manusia, tidak hanya cukup dengan mengandalkan ilmu alam. Terdapat ilmu kemanusiaan yang daripadanya dapat diperoleh pemahaman (understanding) terhadap realitas. Dengan demikian, ada dua ilmu yang berbeda satu sama lain dalam tradisi filsafat yang dimulai oleh Dilthey, yakni ilmu alam dan ilmu kemanusiaan. Apa yang dimaksud dengan ilmu kemanusiaan? Apa yang membedakan ilmu kemanusiaan dengan ilmu alam?
Ilmu kemanusiaan adalah kelompok studi yang tumbuh dari permasalahan kehidupan. Studi ini mempunyai kesamaan persoalan subjek yakni kemanusiaan atau bisa juga dikatakan, realitas historis manusia sosial. Rentangan ilmu ini sangat luas termasuk di dalamnya sejarah, ekonomi, hukum, politik, psikologi, studi agama, literatur, puisi, arsitektur, musik, serta sistem dan pandangan filosofis. Kelompok studi ini dinamakan Geistewissenshaften dengan maksud untuk membedakannya dengan jajaran ilmu seperti biologi manusia dan antropologi fisik. Hal ini sesuai dengan kata “hidup” yang dirujuk Dilthey yakni apa yang membedakan manusia dengan yang bukan manusia (ciri khusus yang terdapat di dalam diri seseorang yang berbeda dengan cirri-ciri yang dimiliki secara umum oleh binatang).
Ilmu kemanusiaan sendiri berbeda dengan ilmu alam. Setidaknya ada dua hal fundamental yang membedakan keduanya, yakni: pertama, perbedaan pendekatan pada kehidupan dan pengalaman umum. Pengetahuan manusia terhadap dunianya berkembang dalam relasi aktif manusia dengan lingkungannya. Dari relasi aktif inilah dibentuk bangunan pengalaman dan penentuan ide-ide. Ilmu kemanusiaan di dasarkan pada pengalaman ini sementara ilmu alam tidak. Sehingga, hasil yang diperoleh dari ilmu alam dalam bentuk teori dan hipotesis bersifat esoteric. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu kemanusiaan dibandingkan ilmu alam berdiri lebih dekat terhadap hidup dan pengalaman manusia. Sementara perbedaan kedua mengalir dari kesatuan alamiah antara objek dan subjek. Manusia yang sama, yang dialami seseorang kemudian dipelajari dalam ilmu kemanusiaan dan sejarah. Tujuan ilmu kemanusiaan sendiri adalah memahami kehidupan. Ilmu kemanusiaan kemudian meninggalkan sisi kejadian-kejadian fisik dan kausalitas mekanis yang bertujuan untuk menjelaskan saja. Ilmu alam menjelaskan fenomena sebagai contoh dari bentuk-bentuk yang sudah tersusun, hirarki dari klasifikasi, dan hukum yang ada di alam. Sementara ilmu sosial melihat fenomena lebih jauh dengan mencoba memahami pengertian dari kehidupan, termasuk berbagai tindakan dan pengalaman yang berarti bagi manusia yang datang dari dalam.
“Memahami” di sini tidak dapat dicapai hanya dengan observasi diri melainkan juga dari sumber objektif yang ditemukan dalam ekspresi-ekspresi kehidupan. Dilthey mengelompokkan ekspresi kehidupan ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah pernyataan dari relasi-relasi logis. Memahami relasi logis akan membawa kita kepada “isi pemikiran yang murni”. Namun, memahami dalam kelompok ini tidak akan pernah bersifat dalam karena relasi logis dapat dipikirkan tanpa mendasari diri pada pengalaman kehidupan. Kelompok kedua terdiri dari tindakan-tindakan manusia. Sementara kelompok ketiga terdiri dari ekspresi-ekspresi kehidupan dalam pengertian yang paling penuh. Dilthey menyebutnya sebagai “ekspresi dari pengalaman yang dihidupi” dimana inner self mengekspresikan diri di hadapan diri sendiri dan kemudian mengkomunikasikannya kepada yang lain. Kelompok ketiga ini merupakan wilayah ideal untuk memahami dan interpretasi. Interpretasi bukanlah hasil dari refleksi logis tapi berangkat dari imajinasi kreatif yang sama dari ekspresi kreatif kehidupan. Ekspresi kehidupan sendiri mengandung karakter historis dan dinamis. Lewat ekspresi-ekspresi kehidupan kita diperkenalkan ke dalam dunia historis.
Dilthey meminjam istilah Hegel yakni Objective Mind untuk mengkarakteristikan dunia dari ekspresi-ekspresi kehidupan. Namun, yang dia maksudkan dengan Objective Mind ini bukan merupakan asumsi metafisis melainkan merujuk pada rentangan berbagai fakta empiris yang dapat dimengerti manusia karena pikiran manusia lah yang bertanggung jawab terhadap produksi atau adanya fakta empiris tersebut. Totalitas dari dunia manusia disebut Dilthey sebagai dunia sosial-historis, dunia historis, atau secara sederhana diartikan sebagai “hidup”. Dari sudut pandang struktur dasarnya dan manifestasi yang dipikulnya, totalitas dari dunia manusia dapat disebut Objective Mind.
MEMAHAMI PENGERTIAN DAN SEJARAH
Konsep Dilthey mengenai “memahami” sama pentingnya dengan konsep “pengertian” yang diangkatnya. Memahami merupakan proses mendapatkan pengertian yang terkandung di dalam dunia historis dan manusia. Dari kehidupan individual, bahkan dari pengalaman partikular indvidu menuju kehidupan umat manusia secara keseluruhan terentang dunia pengertian.
Pengertian masuk dan menyerap ke dalam dunia historis dan dengan demikian, secara tajam membedakannya dari dunia fisik yang menjadi objek kajian ilmuwan alam. Terdapat beberapa arti dari Pengertian menurut Dilthey, salah satunya, pengertian merupakan apa yang terkandung di dalam sejarah. Pemahaman mengenai pengertian ini jelas terlihat dalam suatu pernyataan Dilthey: “Whenever connections occur in history and whenever there is freedom within reality we must apply the concept of meaning. Whenever life is past and has entered understanding there is history. And where history is there is mening in all its variety”. Selain arti di atas, kata “pengertian” juga menunjuk pada penandaan (signification), dimana terdapat relasi antara tanda dan apa yang ditandai. Tanda mengindikasi atau mengekspresikan atau “mengartikan (means)” apa yang ditandai. Memang, pengertian jenis ini, menurut Dilthey bukanlah yang paling memadai untuk menjelaskan pemahaman mengenai sejarah. Arti dari pengertian yang ditunjuk Dilthey lebih merujuk pada hubungannya dengan dengan alam kehidupan sebagai proses dan kesatuan pembangunan diri, relasi antara bagian-bagian dengan keseluruhan kehidupan”.
Titik tolak dimana kita dapat mengetahui konsep pengertian secara mendalam adalah pribadi individual dan arah hidupnya. Mengapa dikatakan demikian? Karena kehidupan individual adalah representasi dari semesta historis, dimana dari situ kategori historis yang spesifik muncul. Salah satu titik tolak mengetahui pribadi dan arah hidup individual adalah lewat autobiografi.
Setidaknya ada tiga autobiografi yang akan dianalisa Dilthey yakni: Agustinus, Rousseau, dan Goethe. Bagaimana ketiga penulis ini mendapatkan kontinuitas dari bagian-bagian kehidupannya? Pertanyaan ini berada dalam kerangka kategori tujuan, nilai, penanda, dan pengertian. Agustinus adalah contoh dari kategori tujuan, dimana ia mengarahkan dirinya secara ekslusif kepada Tuhan. Tuhanlah yang menjadi tujuan hidupnya. Rousseau dilain pihak, ingin menjustifikasikan eksistensi individualnya sehingga sangat lekat dengan kategori nilai. Sementara Goethe, merupakan sosok contoh dari kategori pengertian, melihat dirinya dari sudut pandang sejarah universal. Tidak ada satupun dari kategori di atas yang dimengerti dalam kerangka hubungan sebab-akibat. Namun masing-masing dari kategori nilai dan tujuan tidak dapat dipakai untuk memahami kehidupan secara penuh. “keterhubungan hidup” tidak di dapat dari kategori nilai yang dipakai hanya untuk pengalaman masa kini, tidak juga dapat diperoleh dari kategori tujuan yang hanya mengutamakan masa depan. Hanya kategori pengertian lah yang melampaui keduanya. Sejarah adalah memori dan kategori dari pengertian dimiliki oleh memori, dengan demikian kategori ini secara intim dimiliki oleh historical thinking. Di dalamMasa kini (present) terdapat memori yang merepresentasikan masa lampau, dan terdapat imajinasi terhadap masa depan dalam bentuk posibilitas-posibilitas. Dengan demikian, masa kini merupakan yang dipenuhi oleh masa lampau dan yang mengandung masa depan. Individu dalam kontinuitas pengalaman (masa lampau, masa kini, dan masa depan) menjadi sadar akan dirinya sendiri sebagai kesatuan ada sepanjang waktu.
Dari hal di atas, kita dapat melihat bagaimana Dilthey melihat dunia kehidupan manusia sebagai suatu proses historis yang dipenuhi tidak hanya dengan objektifikasi kehidupan, tetapi juga dengan sistem interaksi dan sistem dinamis.
Setiap periode atau masa dari sejarah harus kembali pada periode sebelumnya yang mengandung, tidak hanya dorongan-dorongan aktif yang khas tetapi juga perjuangan dan aktivitas kreatif yang disiapkan untuk periode selanjutnya. Ada semacam “inner connection” yang menghubungkan periode satu dengan periode lainnya. Namun, hubungan ini tidak bisa dikatakan sebagai perkembangan dari semacam tujuan rasional seperti yang dimengerti Hegel. Bagi Dilthey, “it is a dream of Hegel’s that the ages present stage in the development of reason”. Sebaliknya, perubahan dari masa ke masa dalam sejarah adalah dampak dari ketidakpuasan dari kebutuhan-kebutuhan manusia, di satu sisi, dan keterbatasan dari setiap bentuk atau konfigurasi dimana kehidupan historis menjadi jawaban terhadap kebutuhan manusia.
RANGKUMAN
Pemahaman Dilthey mengenai kehidupan manusia mendapatkan penekanan pada tema sejarah yang digelutinya. Pemikiran filosofisnya bergerak dari titik tolak pembagian ilmu alam dan ilmu kemanusiaan. Tujuan dari ilmu alam adalah menjelaskan fenomena yang ada dalam dunia. Sementara ilmu kemanusiaan bertujuan untuk memahami apa yang terkandung di dalam fenomena termasuk segala tindakannya. Memahami sendiri tidak dapat dicapai hanya dengan observasi diri tetapi juga dari sumber objektif yang disebut Dilthey sebagai ekspresi kehidupan yang terdapat dalam kehidupan manusia, atau yang disebut dunia sosial historis manusia. Memahami adalah proses untuk mendapatkan pengertian dari apa yang ada dalam dunia historis manusia. Pengertian menyerap masuk ke dalam dunia historis manusia.
Di dalam dunia historis manusia, masa kini memiliki dimensi waktu lainnya yang membedakannya dengan waktu yang dipelajari oleh ilmu alam. Dimensi waktu lainnya meliputi masa lampau dan masa depan. Masa kini dipenuhi oleh berbagai peristiwa dan pengertian dari masa lampau sekaligus mengandung masa depan yang terealisasikan lewat kemunculan berbagai posibilitas.
Dengan demikian, dunia kehidupan manusia yang dikatakan sebagai dunia historis mempunyai rentangan tiga dimensi waktu yang disatukan ke dalam satu rentangan waktu. Kehidupan manusia adalah satu rentangan waktu yang panjang, yang terdiri dari masa kini, masa lampau, dan masa depan. Pergerakkan dari satu waktu ke waktu yang lainnya bukanlah akibat dari tujuan rasional tertentu seperti yang dimaksudkan Hegel melainkan karena adanya ketidakpuasan atas kebutuhan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER UTAMA
Sullivan,John Edward “Prophets of the West- an Introduction to the Philosophy of History”, Holt Rinehart Winston: New York 1970.
SUMBER SEKUNDER
Sudarminta, J. “Epistemologi Dasar- Pengantar Filsafat Pengetahuan” Kanisius: Yogjakarta: 2002
Harman, Gilbert. “Reasoning, Meaning, and Mind”. Oxford University Press. USA: 1999.
Sastrapratedja.M, SJ “Filsafat Sejarah- Catatan untuk Kuliah” Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara: Jakarta. 2003 (diperbaharui 2012) hlm. 29
Lih.Sullivan,John Edward “Prophets of the West- an Introduction to the Philosophy of History”, Holt Rinehart Winston: New York 1970. Hlm. 104
Ibid.105
Ibid.105
Lih.Sudarminta, J. “Epistemologi Dasar- Pengantar Filsafat Pengetahuan” Kanisius: Yogjakarta: 2002.hlm.110
Lih.Sullivan,John Edward “Prophets of the West- an Introduction to the Philosophy of History”, Holt Rinehart Winston: New York 1970. Hlm.105
Ibid.105
Ibid.105
Ibid.106
Ibid.106
Ibid.107
Lih. Harman, Gilbert. “Reasoning, Meaning, and Mind”. Oxford University Press. USA: 1999. hlm.262
Lih.Sullivan,John Edward “Prophets of the West- an Introduction to the Philosophy of History”, Holt Rinehart Winston: New York 1970. Hlm. 108
Ibid.109
Ibid.110
Ibid.112
Ibid.112
Ibid.113
Ibid.114
Ibid.114
Ibid.117
Ibid.117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H