Apa yang terlintas di pikiran kita ketika mendengar kata "Koruptor"? Pastinya adalah orang atau lembaga yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.Apa yang menjadi definisi dari tindak pidana korupsi? Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Pengertian korupsi juga disampaikan oleh Asian Development Bank (ADB), yaitu kegiatan yang melibatkan perilaku tidak pantas dan melawan hukum dari pegawai sektor publik dan swasta untuk memperkaya diri sendiri dan orang-orang terdekat mereka. Orang-orang ini, lanjut pengertian ADB, juga membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut dengan menyalahgunakan jabatan.Â
Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam tindak pidana khusus,yaitu pengaturan hukumnya berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan kitab undang-undang yang terkodifikasi, mempunyai karakteristik dan penanganan perkara yang khusus dan spesifik, baik dari aturan hukum yang diberlakukan, hukum acaranya, penegak hukumnya, maupun pengacara yang menanganinya. Kenapa tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai tindak pidana khusus? Ada 4 alasan mengapa tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai tindak pidana khusus,yaitu :
1. Undang-undang tindak pidana korupsi dengan tegas memandang bahwa pidana bagi tindak percobaan,pemufakatan jahat,dan pembantuan sama dengan delik selesai,yaitu delik yang terjadi dengan melakukan suatu atau beberapa perbuatan tertentu.Bila dalam KUHP bagian delik percobaan adalah dikurangi sepertiga dari maksimum ancaman pidana,maka dalam undang-undang tindak pidana korupsi ketentuan demikian disimpangi.Pidana dengan delik percobaan sama dengan pidana bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan selesai.Demikian halnya dengan pasal 57 KUHP yang memuat delik pembantuan secara jelas menyatakan bahwa maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga,dan apabila kejahatan yang dilakukan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,maka maksimum pidana pokok untuk delik pembantuan adalah 15 tahun penjara.Dalam Undang-undang tindak pidana korupsi ketentuan tersebut tiddak diikuti.Karena pidana bagi pelaku delik pembantuan disamakan dengan pidana bagi delik yang selesai.Dalam arti tidak ada pengurangan sepertiga dari maksimum pidana pokok.
2. Mengenai pertanggung jawaban pidana sendiri,undang-undang tindak pidana korupsi tidak hanya menjadikan manusia sebagai subjek delik,tetapi juga korporasi.Sedangkan dalam KUHP,korporasi tidak dianggap sebagai subjek delik melainkan hanya manusia saja yang dapat melakukan tindak pidana.
3. Mengenai sanksi pidana,undang-undang tindak pidana korupsi  mengatur perumusan ancaman pidana secara kumulatif,kumulatif-alternatif,serta ancaman pidana minimum khusus.Dalam KUHP sendiri ketentuan demikian tidak diikuti,sebab dalam KUHP hanya ada 2 sistem perumusan ancaman pidana yaitu siste perumusan tunggal dan sistem perumusan alternatif.Selain itu KUHP juga tidak mengenal ancaman minimum khusus,tetapi KUHP mengenal ancaman maksimum umum dan maksimum khusus.
4. Terkait hukum acara pidana,undang-undang tindak pidana korupsi mengatur ketentuan beracara yang berbeda dengan KUHAP.Seperti diakuinya sistem pembalikan beban pembuktian,perampasan aset,pembayaran uang pengganti,dan peradilan in absentia.Dimana pengertian peradilan in absentia sendiri adalah upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa tersebut.Â
Apakah hukuman mati bagi koruptor diatur dalam peraturan perundang undangan di Indonesia? Ya.Pada dasarnya hukuman mati bagi koruptor di Indonesia telah diatur dalam pasal 2 ayat 2 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.Sampai saat ini belum ada koruptor yang divonis dengan hukuman mati oleh pengadilan.
Bagi sebagian masyarakat,hukuman mati bagi koruptor adalah langkah hukum yang baik untuk membarantas tindak pidana korupsi.Namun sebenarnya hukuman mati bagi koruptor ini dinilai kurang efektif.Kita ambil contoh saja pada tindak pidana narkotika.Sudah puluhan bandar yang divonis mati oleh pengadilan,namun peredaran narkotika di Indonesia masih saja gencar terjadi,bahkan semakin meluas.Hukuman mati sengaja dibuat untuk memberikan efek jera bagi para pelaku dan juga memberantas tindak pidana berat.Namun perlu diperhatikan juga akibat-akibat yang ditimbulkan dari pemberlakuan hukuman ini.Ahmad Taufan Damanik selaku ketua Komnas HAM mengatakan bahwa tidak ada korelasi antara penerapan hukuman mati dengan upaya pecegahan dan efek jera di dalam pemberantasan korupsi.Beliau menilai vonis hukuman mati bukanlah solusi yang tepat untuk memberantas korupsi karena selain tidak efektif mengatasi tindak pidana korupsi,juga bertentangan dengan norma hak asasi manusia.Taufan juga menyatakan bahwa Indonesia tidak hanya dinilai dari seberapa kuat membangun sistem pencegahan dan penindakan terhadap praktek korupsi,tetapi juga akan dinilai seberapa jauh Indonesia memiliki komitmen kepatuhan terhadap standar hak asasi manusia.
Menurut data dari ICW (Indonesia Corruption Watch),indeks korupsi china sebagai salah satu negara yang gencar menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, tahun 2020 tercatat skor indeks korupsi di negeri tirai bambu tersebut berada di angka 42 dari skala 0-100 dimana nilai yang lebih tinggi merupakan indikator bahwa responden memberikan penilaian yang baik,sementara nilai rendah mengindikasikan bahwa responden menilai bahwa di daerahnya praktik korupsi masih tinggi.Sebaliknya,negara-negara dengan skor indeks korupsi terbaik (di antara angka 85-87) seperti Denmark,Selandia Baru,Finlandia,Swedia dan Switzerland sudah lama tidak memberlakukan hukuman mati bagi pelaku korupsi.Sementara negara-negara dengan skor indeks korupsi paling buruk (di antara angka 10-14) yaitu Korea Utara,Yaman,Somalia,Sudan,dan Suriah justru menerapkan hukuman mati bagi para pelaku korupsi.Data tersebut membuktikan bahwasannya hukuman mati bagi para koruptor kurang efektif untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Namun,muncul RUU Perampasan Aset yang mulai memberikan titik terang bagi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.Apakah RUU Perampasan Aset? Secara sederhana RUU Perampasan Aset adalah Rancangan Undang-Undang yang mengatur tentang upaya yang dilakukan oleh Negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan Aset Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.RUU Perampasan Aset sampai saat ini belum mendapat kejelasan akan pengesahannya menjadi Undang-undang oleh DPR.Padahal RUU Perampasan Aset ini sangat penting karena RUU ini bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian Negara (Recovery Asset) sehingga kerugan yang diderita oleh Negara tidak Signifikan.
RUU Perampasan Aset dinilai dapat menjadi payung hukum dalam penegakan hukum terhadap kasus yang melibatkan dana besar seperti Korupsi,Narkotika,Perdagangan Manusia,Pengrusakan lingkungan,hingga Perjudian dan Penipuan.Seperti yang kita ketahui,saat ini sistem pemidanaan yang ada yaitu cari dulu pelakunya dengan tuntutan dakwaan lalu masukkan juga tuntutan agar aset hasil tindak pidananya bisa disita atau dirampas oleh Negara.Sebenarnya sistem tersebut ideal tetapi terdapat kesulitan memidanakan orang (terdakwa) dalam kondisi misalnya meninggal,kabur,lepas dan sebagainya sehingga ia tidak bisa dituntut secara pidana walau kuat indikasinya bahwa dia melakukan tindak pidana sehingga aset hasil tindak pidananya tidak bisa disita atau dirampas Negara.
Berbeda dengan yang terdapat dalam RUU Perampasan Aset ini,dimana Negara dapat merampas Aset hasil tindak pidana terdakwa tanpa perlu memidanakan pelaku berdasar keputusan pengadilan.Konsep ini disebut dengan Non-Conviction.Misal kita ambil contoh kasus sindikat penipuan online.Ketika pelakunya belum ditemukan tetapi uang hasil penipuan tersebut dapat ditelusuri,Negara dapat merampas uang hasil penipuan tersebut walaupun dalam kondisi tindak pidananya telah memasuki masa kadaluarsa karena pelakunya belum memasuki masa persidangan.Dengan disahkannya RUU ini nantinya dapat mengurangi terjadinya kerugian Negara yang disebabkan oleh tindak pidana yang merugikan Negara maupun Manusia.
Keberadaan RUU Perampasan Aset ini sudah digagas sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun baru bergerak maju di era pemerintahan Joko Widodo.Walaupun dikatakan bergerak maju,RUU ini belum disahkan oleh DPR sampai detik ini.Sejak pemerintah mengirim Surat Presiden (Surpres) RUU Perampasan Aset pada 4 Mei 2023,pimpinan DPR hingga detik ini tak kunjung membacakannya dalam rapat paripurna.Padahal,DPR sudah mengadakan 6 kali rapat paripurna setelah menerima Surpres.Namun,RUU Perampasan Aset masih menggantung.
Hal ini mengindikasikan bahwa DPR selaku wakil rakyat tidak tegas dalam memberantas korupsi di Indonesia.Oleh karena itu kita sebagai masyarakat harus terus kritis dalam menyuarakan pengesahan RUU Perampasan Aset ini agar tercipta kepastian hukum bagi masyarakat dan Negara.Berbagai program pemerintah pun dapat berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya apabila korupsi dapat diberantas.Pembangunan pun akan terealisasi dengan baik apabila para pejabat-pejabat kita yang baik hati itu anti terhadap korupsi dan patuh pada peraturan perundang undangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H