Mohon tunggu...
Mego Widi Hakoso
Mego Widi Hakoso Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Mulai menulis ketika menjadi mahasiswa FISIP - Universitas Brawijaya, mengikuti beberapa organisasi dan juga bermusik, menjadi kontributor beberapa acara musik-sosial sewaktu di Kota Malang. Senang terhadap bidang sastra, filsafat, musik, dan sosial politik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosiologi Fashion Week

27 Oktober 2022   12:13 Diperbarui: 27 Oktober 2022   14:11 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Jakarta, bulan Oktober 2022, Jakarta Fashion Week 2023 di gelar kembali dengan lokasi baru, setelah absen dua kali karena pandemi. Sebagai perhelatan pertunjukan busana bergengsi, JFW tetap memilih lokasi di Mall kelas menengah atas di Jakarta Selatan, yakni Pondok Indah Mall 3 (sebelumnya halaman luar Plaza Senayan). 

Dalam sudut pandang sosiologis, JFW bisa dibilang lebih dari sekedar ajang kontestasi perancang busana. Dalam perhelatannya, JFW secara bisnis adalah  magnet yang mampu menarik pihak-pihak media dan sponsor karena dipandang sebagai momen hubungan mutual yang strategis bagi produk sponsor, kemudian kelindan antara media, sponsor dan perancang busana akan berdampak kepada masyarakat. 

Masyarakat adalah lapisan -- lapisan kelas sosial. Komunitas masyarakat kelas menengah atas akan menikmati JFW dengan obrolan dan pendapat terhadap karakteristik masing-masing perancang busana. Tetapi bagi komunitas masyarakat kelas menengah bawah akan menikmati JFW dengan mengagumi tubuh dan paras model yang berjalan di catwalk yang mungkin hanya dilihat dari layar HP dari saluran sosial media terkini. 

Perancang busana memiliki kekuatan sebagai trendsetter busana. Untuk mendapatkan label sosial 'perancang busana' busana mereka harus sudah dipercaya untuk digunakan oleh orang elit (status sosial tinggi di masyarakat). 

Setelah dipercaya (di gunakan oleh elit), wawasan dari perancang busana menjadi norma, norm aitu menjadi trend, trend itu menjadi simbol untuk di konsumsi oleh masyarakat yang ingin menjadi kelas sosial superior. Oleh karena itu, JFW dan prancang busana adalah daya ungkit dari sebuah konsumsi simbol kalangan menangah atas. 

Simbol itu berwujud brand barang dan obrolan-obrolan mengenai trend busana. Mereka yang mengkonsumsi simbol itu akan bisa menjadi bagian dari kelas sosial superior yang tentu berbeda dengan kelas sosial inferior, karena mereka mengetahui perkembangan busana kalangan elit, bahkan telah berpartisipasi lebih jauh dengan membeli barang hasil konstruksi JFW tersebut. Bisa menjadi bagian kelas sosial superior dengan simbol adalah kepuasan masyarakat masa kini, secara teoritis hal ini konfirmasi dari konsep masyarakat konsumsi yang dicetuskan oleh Sosiolog postmodernisme Jean Baudrillard dan Anthony Giddens.

Dimasa absennya JFW, muncul Citayem Fashion Week, dimana secara sosiologis adalah fenomena unik, dimana komunitas masyarakat menengah bawah melakukan imitasi/tiruan model yang berjalan di catwalk dengan malukannya di zebra cross Stasiun Sudirman.  Imitasi/tiruan itu menjalar kepada remaja komunitas pinggiran Jakarta (masyarakat prismatik). Kereta Api Listrik memudahkan komunitas masyarakat pinggir kota menikmati ruang-ruang hasil pembangunan di Stasiun Sudirman. Kata kunci pencarian yang bertautan dengan 'Citayem Fashion Week' menjadi dominan di sosial media (algoritma). Pergerakan masif yang terjadi pada dunia nyata dan dunia maya dengan Catwalk Zebra Cross sebagai pusatnya.  Catwalk Zebra Cross adalah panggung populis, yang siapa saja bisa menikmatinya, tidak memandang kelas sosial, tidak memandang proporsi tubuh dan tidak memandang nama dibalik sebuah busana.

62d8306204e8f-635a2e8208a8b529ac099ed2.jpg
62d8306204e8f-635a2e8208a8b529ac099ed2.jpg

Imitasi modeling dan Catwalk Zebra Cross adalah dua kata kunci dari awal sebuah perlawanan kelas. Euphoria  Imitasi modeling dan Catwalk Zebra Cross membuat Stasiun Sudirman menjadi ruang bagi remaja-remaja pinggir Jakarta. Ruang tersebut sebagai arena baru untuk konsumsi kebebasan karya yang umumnya menjadi konten sosial media. 

Sosial media sudah menjadi arena panjat sosial membuat kalangan masyarakat menengah atas ikut dalam Euphoria  Imitasi modeling dan Catwalk Zebra Cross dengan motif menambah eksistensinya, mereka adalah politisi, public figure dan model professional. Sehingga corak perlawanan kelas memudar karena didominasi oleh kalangan kelas atas, sehingga Imitasi modeling dan Catwalk Zebra Cross di Stasiun Sudirman lagi-lagi menjadi konsumsi simbol kelas atas. Dominasi kelas ini berdampak nama "Citayem Fashion Week" menjadi kian populer dan sebagian aktor kelas atas ingin melakukan hak milik dengan upaya pendaftaran ke Kementerian Hukum dan HAM sebagai hak miliki pribadinya. Aksi dari beberapa oknum kelas atas itu di protes oleh masyarakat sehingga terjadi pembatalan proses hak milik pribadi.

Reaksi protes adalah sebuah tanda bahwa gairah populisme dan aktivisme masih ada walaupun  Imitasi modeling dan Catwalk Zebra Cross di Stasiun Sudirman sudah menjadi ruang bersama antara kelas atas dan kelas bawah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun