Mohon tunggu...
Mego Widi Hakoso
Mego Widi Hakoso Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Mulai menulis ketika menjadi mahasiswa FISIP - Universitas Brawijaya, mengikuti beberapa organisasi dan juga bermusik, menjadi kontributor beberapa acara musik-sosial sewaktu di Kota Malang. Senang terhadap bidang sastra, filsafat, musik, dan sosial politik.

Selanjutnya

Tutup

Money

Wirausahawan, Pejuang Kemerdekaan dan Pemuda Sekarang

22 Februari 2017   17:11 Diperbarui: 14 Maret 2019   08:53 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Indonesia pada masa kini masih termasuk pada kategori beruntung, karena sudah tidak mengalami perang “hard power”, tidak ada nuklir, bom, atau peluru liar (seperti di negara-negara timur) yang menyakiti fisik warga Indonesia. Kepala Polisi Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian pada saat  menjadi pemateri kuliah umum di Universitas Padjadjaran mengatakan “Bom di negara-negara timur yang sedang konflik seperti masalah curanmor di Indonesia, sudah biasa karena sangking seringnya” 

sedangkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat menjadi pemateri kuliah umum di Universitas Pelita Harapan mengatakan “kekayaan sumber daya alam dan semangat konsumeris masyarakat Indonesia telah membuat Negara lain iri dengan Indonesia, dan ini sebenarnya membahayakan Indonesia jika terjadi perang dunia ke tiga” Negara lain iri karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat, 

iri karena pemerintahnya hanya sebagai “pejaga malam” kelompok bisnis diberi ruang yang luas untuk memenuhi kebutuhan masyakarat Indonesia. Selain itu baru-baru ini pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Pajak Amnesti yang telah membuat Negara tetangga kekurangan nilai investasinya yang tentu mengganggu hubungan politik bilateral Indonesia.

 Saat ini memang bukan perang fisik, memang tidak ada ledakan bom konflik antar Negara secara eksplisit, tetapi saat ini perang “soft power” sedang berjalan. Batas-batas lintas Negara sudah pudar akibat perdagangan bebas. Polri dan TNI disibukan dengan urusan kelompok teror yang mencekam, beberapa kementerian juga ikut sibuk mengurus kapal-kapal asing yang mangambil ikan-ikan di perairan Indonesia, 

pemuda Indonesia terlena dengan musik barat, Pemuda Indonesia telah terlena dengan produk-produk barang yang simbolis dengan update zaman,  begitu mudah pemuda-pemuda Indonesia terbuai dengan gombal iklan-iklan produk dan doktrin terorisme, kabar baik Rupiah hanya menunggu situasi ekonomi yang diakibatkan semangat konsumsi masyarakat.

Dahulu, ketika pemuda berjuang merebut kemerdekaan, pemuda tidak butuh pujian, dengan modal semangat “meredeka atau mati” mereka bergerak maju menahan sakit pada kulit yang berlumur darah. Setelah tindakan pemuda dipandang berpotensi menjadi kontributor perjuangan merdeka, timbullah kata “mengabdi” yang secara populer menjadi hasrat pemuda Indonesia pada saat itu.

 Populernya kata “mengabdi” pada saat itu juga identik dengan “abdi Negara” karena Negara merasa terbantu oleh para abdi Negara, yang membuat para pemuda berlomba-lomba menjadi aparatur Negara militer maupun sipil. Hal juga dipicu oleh semangat kebangsaan yang tinggi, tetapi sayangnya sekarang semangat kebangsaan pada pemuda telah hilang, hanya semangat menjadi aparatur Negara saja yang masih ada, itupun karena harapan status sosial, seragam dan jaminan pendapatan dari APBN yang akan didapat setelah menjadi abdi Negara.

Sangat disayangkan karena saat ini pemuda sudah merasa menjadi warga dari Negara yang sepenuhnya meredeka, padahal Ir. Soekarno pernah mengatakan “suatu hari nanti kita akan kesulitan untuk melawan bangsa kita sendiri” kalimat sederhana ini menunjukan bahwa perjuangan belum selesai, jenis perang sudah berbeda dari zaman merebut kemerdekaan, dan Negara ini masih butuh banyak wirausahwan yang kreatif, berani mengambil resiko dan Negara juga tidak butuh pegawai negeri yang banyak, kepegawaiaan pada lembaga-lembaga di Indonesia sudah sudah gemuk, dan harus mengalami perampingan badan karena secara efisiensi anggaran juga menuntut untuk “sedikit unit banyak fungsi” . 

Disisilain juga pemerinta jangan terus memasarkan wawasan kebangsaan secara normative/kaku, harus ada cara pemasaran/sosialisasi lain yang memicu pemuda bahwa wawasan kebangsaan bisa menjadi landasan semangat untuk mengabdi kepada Negara dengan cara wirausaha. Negara juga harus melakukan seremonial “terima kasih” kepada wirausahawan muda, dan memberikan simbol kepada mereka (wirausahawan muda) bahwa Negara bangga karena telah terbantu mengurangi pengangguran. 

Dengan cara ini pemuda tidak minder dengan status nya yang masih pengangguran karena ada kesempatan untuk diapresiasi jika pemuda yang menganggur berani melakukan kegiatan ekonomi kreatif dan membangun industri kecilnya. Alangkah baiknya lagi ada program wajib wirausaha untuk sarjana dan anggaran modal bisnis untuk pemuda Indonesia dan dibentuk satuan unit kerja pemerintah yang memantau perkembangan bisnis pemuda Indonesia. 

Karena mengingat betapa banyak sarjana muda lahir di Indonesia setiap tahunya dan sulit diserap seluruhnya oleh pasar tenaga kerja, yang membuat pemuda stress-depresi karena sulit bahkan tidak bisa menjadi pegawai tetap seperti apa yang ekspetasikan oleh lingkungannya setelah sarjana, dan akhirnya mudah diadu domba oleh kelompok intoleran, pandangan hidupnya mengikuti pendapat kelompok, tidak memiliki pandangan original dari pemikirannya karena tidak percaya diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun