Dokter memang menjadi sebuah profesi yang mulia karena pekerjaan sehari-hari mereka yang berkaitan erat dengan menolong orang lain. Profesi ini bukan hanya mulia, tetapi juga dibutuhkan di mana-mana. Profesi dokter masih terus dibutuhkan setiap waktunya.
Lulusan dokter setiap tahunnya masih tidak mampu menutupi permintaan atas layanan dokter itu sendiri. Tidak sampai di situ, pendistribusian dokter di Indonesia juga menjadi satu masalah. Bagaimana tidak? Menurut data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemekes RI, sebanyak 5539 dokter umum berkumpul di Jawa Barat, sedangkan di Sulawesi Barat, kita hanya dapat menjumpai 161 dokter umum. Ironi bukan?
Masalah ini masih berhubungan dengan moratorium izin pendirian fakultas kedokteran di Indonesia. Isu mengenai morotarium ini sudah muncul sejak tahun 2015 dan sempat diberlakukan pada awal tahun 2016. Terbukti, pada akhir Maret 2016, pemerintah memberikan izin atas pembukaan delapan fakultas kedokteran baru yang tersebar di lima wilayah.
Delapan fakultas tersebut nantinya berada di Universitas Ciputra dan Universitas Muhammdiyah yang berada di Surabaya, Universitas Bosowa dan Universitas Islam Negeri Alauddin di Makassar, Universitas Khairun Ternate, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, serta Universitas Wahid Hasyim Semarang. Terkesan terlalu dipaksa, lima fakultas kedokteran baru tersebut diperiksa oleh Tim Evaluasi Pengusulan Program Studi Kedokteran milik Kemenristekdikti dan tidak mendapat rekomendasi yang baik.
Moratorium ini kembali diberlakukan 2016 sejak dikeluarkannya surat edaran Menrisetdikti, Muhammad Nasir pada tanggal 14 Juni 2016. Ada tiga poin dalam surat tersebut. Poin pertama berisi evaluasi penyelenggaraan pendidikan program studi pendidikan dokter yang ada.
Kedua, pemerintah menghentikan sementara waktu pembukaan program studi pendidikan dokter dan profesi dokter yang baru sampai dengan peningkatan mutu pendidikan dokter yang ada dapat diraih secara signifikan. Poin terakhir ini dianggap poin kontroversial.
Poin ini seperti memberi kelonggaran dan celah agar pemerintah tetap membuka fakultas kedokteran baru di Indonesia dengan alasan pemenuhan tenaga kesehatan yang kasih jauh dari kata cukup, khususnya di daerah-daerah tertinggal. Lalu bagaimana keadaan sebenarnya?
Sebelum diadakannya delapan fakultas kedokteran baru pada lima wilayah yang telah disebutkan tadi, ada 75 fakultas kedokteran di seluruh wilayah Indonesia. Angka 75 ini merupakan jumlah yang cukup banyak. Namun, jumlah yang banyak tersebut tidak diimbangi dengan kualitas dari masing-masing perguruan tinggi ini. Pembukaan delapan fakultas baru menandakan ada 83 fakultas kedokteran di Indonesia.
Dari 83 fakultas kedokteran ini, hanya sekitar 20% atau 17 fakultas kedokteran yang menyandang akreditasi A, 29 fakultas kedokteran dengan akreditasi B, dan sisanya, yaitu 37 fakultas kedokteran atau sebanyak 45% fakultas kedokteran harus menyandang akreditasi C.
Hal ini bisa terjadi tentu karena tidak adanya kesiapan dalam pembangunan fakultas kedokteran itu sendiri. Memang, permintaan dokter di Indonesia masih sangatlah tinggi dan lulusan dokter setiap tahunnya tidak mampu memenuhi permintaan tersebut. Namun, apakah kita patut berbangga dengan banyaknya jumlah fakultas kedokteran dengan akreditasi yang rendah?
Tidak sampai di situ, tujuan dari adanya pendidikan kedokteran adalah untuk melahirkan dokter-dokter unggul yang mampu mengatasi masalah kesehatan tempat mereka mengabdi.
Di samping masih banyak fakultas kedokteran yang memiliki akreditasi C, angka kelulusan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) berada jauh dari harapan kita semua. Tercatat pada tahun 2015, dari 75 fakultas kedokteran yang ada dan dari sekitar 15000 lulusan, presentase peserta yang lulus hanyalah 41% atau sebanyak 6219 peserta saja.Â
Keadaan ini bukan suatu hal yang patut dibanggakan tentunya. Bagaimana tidak? Hanya empat dari sepuluh orang peserta yang lulus dan dapat menjalani profesinya sebagai dokter. Tidak berhenti sampai di situ, peserta yang tidak lulus ini di tahun yang akan datang menjadi retaker UKMPPD.
Angka di atas hanya menunjukkan angka peserta dalam satu tahun. Namun, kenyataannya, banyak peserta-peserta di tahun sebelumnya juga yang kembali mencoba peruntungannya. Terbayang bukan, betapa menumpuknya antrian peserta UKMPPD? Sedangkan Indonesia butuh tenaga kesehatan, khususnya dokter dengan cepat dan dalam jumlah banyak.
Undang-undang nomor 20 tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran mencantumkan beberapa syarat yang harus dimiliki sebuah fakultas kedokteran. Poin ini diatur dalam bagian kedua mengenai pembentukan. Pasalnya yang keenam ayat tiga menyatakan bahwa fakultas kedokteran minimal memiliki tenaga kependidikan yang sesuai dengan peraturan.Â
Fakultas Kedokteran juga harus memiliki fasilitas yang mencukupi, seperti laboratorium kedokteran klinis, bioetika, kedokteran komunitas, biomedis, hingga kesehatan masyarakat. Fasilitas ini harus tersedia di gedung penyelenggara pendidikan yang memadai dan mendukung jalannya kegiatan pembelajaran yang kondusif.
Poin yang tak kalah penting adalah mengenai rumah sakit pendidikan. Setiap fakultas kedokteran harus memiliki rumah sakit pendidikan yang bekerja sama dengan rumah sakit. Jika masih banyak fakultas kedokteran di Indonesia yang berakreditasi rendah, apakah bukan berarti syarat-syarat ini belum terpenuhi secara menyeluruh?
Isu ini kemudian kembali mencuat, diberlakukan kembali pada Juni 2017, dan kemudian kembali dicabut pada sejak 4 September 2017. Pencabutan moratorium izin pendirian fakultas kedokteran baru ini diberlakukan dengan alasan sudah adanya peningkatan kualitas dari fakultas kedokteran yang ada.
Menrisetdikti mengaku bahwa sampai awal September 2017, sudah ada tujuh fakultas kedokteran yang mengalami peningkatan akreditasi dari C menjadi akreditasi B. Namun, yang perlu ktia telaah lebih lanjut lagi, apakah pergeseran akreditasi menjadi lebih baik ini menggambarkan peningkatan kualitas yang signifikan pula?
Moratorium ini memang menjadi sebuah isu yang kontroversial. Namun, masalah ini memiliki kedudukan yang penting dalam pelaksanaan pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia. Diberlakukan atau dicabutnya moratorium ini akan membawa dampak yang besar pula.
Kembali lagi, kita harus mempertimbangkan kebermanfaatan sebesar mungkin. Jika pemerintah masih tetap membuka izin pembukaan fakultas kedokteran baru, kualitas dokter di Indonesia akan menurun secara perlahan. Bersamaan dengan itu, kepercayaan masyarakat kepada dokter juga akan menurun seiring dengan malpraktik yang pasti akan cenderung meningkat, mengingat, kualitas dokter yang dihasilkan bukanlah dokter dengan kualitas yang baik.
Tentu, dokter dengan kualitas yang mempuni lahir dari kualitas pendidikan yang baik pula. Oleh sebab itu, keputusan pemerintah untuk mencabut moratorium izin pendirian fakultas kedokteran yang baru merupakan langkah yang tergesa-gesa.
Hal ini dikarenakan masih banyak, bahkan hampir setengah dari total fakultas kedokteran yang ada, masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas ini harus dilakukan terlebih dahulu dibandingkan menambah jumlah fakultas kedokteran dengan kesiapan yang sangat minim dan menciptakan kualitas yang buruk pula.
Isu ini harus tetap dikawal oleh masyarakat dan mahasiswa. Aspirasi harus diberikan secara terus-menerus agar pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan yang telah dibuat. Selain itu, masyarakat dan secara terkhusus mahasiswa harus tegas terhadap pemerintah.
Karena kepentingan ini bukan hanya menyangkut mahasiswa, melainkan seluruh lapisan masyarakat. Mahasiswa pendidikan kedokteran akan terjun ke masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di Indonesia. Namun, yang perlu digarisbawahi disini, masyarakat Indonesia tidak hanya membutuhkan angka yang besar, melainkan kualitas yang bisa diandalkan pula.
Referensi:
- Moratorium pendirian fakultas kedokteran [Internet]. Semarang: Universitas Diponegoro; 2016 [cited 2018 Feb 19]
- Hidayat R. Darurat dokter lulusan fakultas kedokteran akreditasi CÂ [Internet]. Jakarta: Tirtro ID; 2016 [cited 2018 Feb 19].
- Maulidina AA. Ada apa dengan moratorium FK [Internet]. Depok: Media Aesculapius FKUI; 2016 [cited 2018 Feb 19].Â
- Data tenaga medis yang didayagunakan di fasilitas pelayanan kesehatan [Internet]. Jakarta: Badan PPSDM Kesehatan Informasi SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia [cited 2018 Feb 19].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H