Stunting merupakan permasalahan kurang gizi yang kronis karena kurangnya konsumsi zat gizi yang telah berlangsung lama dan tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak. Data yang dirilis dari Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019 menyatakan bahwa 27.67% balita di negara Indonesia mengalami stunting. Artinya, dari 23 juta balita di Indonesia ada 6.3 juta mengalami stunting. Jumlah ini diatas standar tertinggi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 20% atau seperlima total balita di sebuah negara.
Prevalensi balita yang stunting di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, dan menjadi keempat tertinggi di dunia. Stunting dapat mengakibatkan anak mudah mengalami sakit, postur tubuh anak pendek saat dewasa, dan kurangnya kemampuan kognitif, yang pada akhirnya berdampak pada kerugian jangka panjang pada perekonomian Indonesia.
Berbagai penelitian mengungkapkan pentingnya edukasi gizi dilakukan karena terjadinya gangguan tumbuh kembang balita dipengaruhi salah satunya oleh pengetahuan ibu tentang pengasuhan dan gizi. Pandemi Covid-19 telah membuat kegiatan promosi maupun edukasi dalam upaya mencegah stunting di masyarakat yang biasanya dilakukan secara tatap muka menjadi terkendala.Â
Siatusi pandemi covid-19 menjadi pembatas pergerakan masyarakat, sehingga beragam edukasi gizi tidak memungkinkan dilakukan secara langsung. Metode edukasi gizi mainstream yang selama ini diterapkan kurang comply dengan kondisi Covid-19 yang tidak memungkinkan dilakukannya penyuluhan tatap muka.Â
Tranformasi digital yang semakin cepat dan masyarakat yang semakin terkoneksi dengan internet mengamplifikasi perubahan metode edukasi ke arah online. Penggunaan internet sekarang ini menjadi tidak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari.Â
Pada tahun 2019-2020 saja sebanyak 73.7% atau 196.71 juta jiwa penduduk Indonesia dari total penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan Internet. Tingkat pertumbuhan internet yang sedemikian semakin pesat membuat semua sektor dalam kehidupan masyarakat dapat dilakukan secara online. Meskipun nantinya pandemik covid-19 sudah berubah menjadi endemik namun kebutuhan edukasi secara online ini akan semakin tinggi.
Alternatif inovasi strategi edukasi gizi berbasis sosial media marketing menjadi pilihan yang dapat dilakukan. Edukasi dapat ditujukan kepada ibu hamil, ibu dengan anak balita agar terjadinya stunting pada anak dapat dicegah dan remaja putri yang akan menikah.
Media sosial menjadi saluran yang dapat dimanfaatkan untuk edukasi di era digital. Adanya media sosial mengubah banyak kebiasaan masyarakat dalam berbagai hal, seperti saat interaksi, berbelanja maupun bersosialisasi. Media sosial merupakan salah satu pilihan saluran yang dapat dimanfaatkan pada strategi digital marketing. Â Social media menjadi salah satu platform di era digital internet yang paling diminati, misalnya Youtube, Instagram, Facebook, Twitter, dan Tik Tok.
Berbagai hal perlu diperhatikan oleh pemerintah maupun pihak-pihak yang akan menggunakan media sosial untuk melakukan promosi dan edukasi dalam pencegahan stunting. Titik kritis dalam pembuatan konten untuk usia 18-30 tahun, terutama saat ini konten semakin kompetitif.
Jika tidak menarik, konten langsung akan di-skip. Karenanya, ini menjadi sebuah tantangan bagi konten kreator. Untuk membuat konten yang menarik harus memperhatikan uniqueness masing-masing media sosial. Instagram lebih mengutamakan estetika, sementara TikTok realistis.
Secara umum, audiens pada kelima media sosial senang dengan konten yang relatable dan bermanfaat. Konten yang bagi netizen menarik berupa 1) ilmu baru yang sesuai dengan curiosity mereka, 2) hiburan, walau tidak ada ilmunya, namun tetap menghibur. Kelihatannya stunting kurang sejalur dengan manfaat ini. Kemudian, 3) review, contohnya produk makanan yang dapat mencegah stunting, 4) social experience yang mengundang empati, 5) story telling.Â
Di TikTok, hiburan dapat digabungkan dengan ilmu baru, contohnya dengan menggunakan konsep roleplay. Twitter lebih menekankan copywriting, jadi lebih baik dimasukkan dalam thread untuk Twitter. Namun, harus menggunakan tweet pertama yang menggugah, contohnya dengan menggunakan case. Â Instagram yang paling menarik adalah carousel sebagai ciri khas Instagram yang tidak dimiliki platform lain.Â
Reels agak berisiko karena tidak tertebak, bisa jadi viewers-nya sangat banyak atau sangat sedikit tergantung pada penonton yang menyimak kontennya hingga selesai atau tidak. Facebook lebih cocok video, adapun TikTok video dan bentuknya pendek. Youtube lebih mengarah ke video yang durasinya panjang. Thumbnail Youtube juga sangat menentukan menariknya isi. Penggunaan sound juga perlu diperhatikan. Sound yang sedang viral di TikTok atau Instagram Reels dapat menambah viewers suatu video.
Tidak seperti Instagram, Youtube tidak membutuhkan cover yang estetik. Lebih ke cover yang menarik perhatian. Perhatikan ukuran font dalam menulis pesan. Harus ada kalimat yang menarik massa dulu di awal hingga mengundang curiosity. Untuk Reels, font handwriting-nya harus bagus, lagunya juga cocok, estetik, dan terlihat mood audiens, serta temanya harus sesuai.Â
Namun, jika dibawa ke TikTok tidak terlalu estetik. Di TikTok harus ada yang menarasikan secara cepat dan bersemangat. Bentuknya dapat berupa video animasi dengan narasi atau ada orang yang menjadi presenter dan nanti dimasukkan ilustrasi-ilustrasi yang sedang dibahas. Keduanya harus sesuai dengan TikTok, hanya perlu memperhatikan pembawaan cara bicara dan kecepatannya.
Dari sisi sasaran, pengguna media sosial bersifat segmented. Ibu rumah tangga awam sampai tahap WhatsApp/Facebook saja sudah bagus, adapun millennial menguasai Instagram, TikTok, dan lainnya. Untuk ibu-ibu yang tidak terjangkau oleh kedua jenis tersebut adalah masyarakat yang berada di area blind spot seperti NTT, Papua Barat, dan lainnya.Persentase blind spot sangat kecil, jadi media sosial masih bisa berfungsi. TikTok sekarang sedang digemari juga oleh ibu-ibu.
Edukasi stunting di TikTok sangat memungkinkan, dengan anak muda menjadi modelnya. Banyak masyarakat yang belum mengetahui apa itu stunting, sehingga edukasi stunting melalui media sosial dapat mendukung program pengentasan stunting yang dikoordinatori oleh BKKBN. Dari segi konten, perbedaan antara edukasi pada masyarakat kelompok menengah hingga bawah dan masyarakat kelompok menengah ke atas hanya sebatas penggunaan bahasa. Untuk masyarakat menengah ke bawah, bahasa yang digunakan harus lebih sederhana dan menghargai kearifan lokal.
Media sosial berhasil karena beberapa hal, yakni konten, materi dan penyesuaian konten dengan kebutuhan masyarakat; penempatan yang tepat, misal : facebook (tua), IG (anak muda), Twitter (politisi), TikTok (ceria hiburan) dan bagaimana kita mengelola media sosial untuk membantu penanganan stunting. Kemasan juga penting untuk disesuaikan dengan konten dan konteks. Bagaimana mengemas penyampaian dengan menarik.
Ke depan pemanfaatan media sosial untuk mempromosikan konten-konten khususnya dalam pencegahan stunting akan semakin marak. Semoga upaya-upaya ini akan dapat menurunkan angka balita yang stunting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H