Di TikTok, hiburan dapat digabungkan dengan ilmu baru, contohnya dengan menggunakan konsep roleplay. Twitter lebih menekankan copywriting, jadi lebih baik dimasukkan dalam thread untuk Twitter. Namun, harus menggunakan tweet pertama yang menggugah, contohnya dengan menggunakan case. Â Instagram yang paling menarik adalah carousel sebagai ciri khas Instagram yang tidak dimiliki platform lain.Â
Reels agak berisiko karena tidak tertebak, bisa jadi viewers-nya sangat banyak atau sangat sedikit tergantung pada penonton yang menyimak kontennya hingga selesai atau tidak. Facebook lebih cocok video, adapun TikTok video dan bentuknya pendek. Youtube lebih mengarah ke video yang durasinya panjang. Thumbnail Youtube juga sangat menentukan menariknya isi. Penggunaan sound juga perlu diperhatikan. Sound yang sedang viral di TikTok atau Instagram Reels dapat menambah viewers suatu video.
Tidak seperti Instagram, Youtube tidak membutuhkan cover yang estetik. Lebih ke cover yang menarik perhatian. Perhatikan ukuran font dalam menulis pesan. Harus ada kalimat yang menarik massa dulu di awal hingga mengundang curiosity. Untuk Reels, font handwriting-nya harus bagus, lagunya juga cocok, estetik, dan terlihat mood audiens, serta temanya harus sesuai.Â
Namun, jika dibawa ke TikTok tidak terlalu estetik. Di TikTok harus ada yang menarasikan secara cepat dan bersemangat. Bentuknya dapat berupa video animasi dengan narasi atau ada orang yang menjadi presenter dan nanti dimasukkan ilustrasi-ilustrasi yang sedang dibahas. Keduanya harus sesuai dengan TikTok, hanya perlu memperhatikan pembawaan cara bicara dan kecepatannya.
Dari sisi sasaran, pengguna media sosial bersifat segmented. Ibu rumah tangga awam sampai tahap WhatsApp/Facebook saja sudah bagus, adapun millennial menguasai Instagram, TikTok, dan lainnya. Untuk ibu-ibu yang tidak terjangkau oleh kedua jenis tersebut adalah masyarakat yang berada di area blind spot seperti NTT, Papua Barat, dan lainnya.Persentase blind spot sangat kecil, jadi media sosial masih bisa berfungsi. TikTok sekarang sedang digemari juga oleh ibu-ibu.
Edukasi stunting di TikTok sangat memungkinkan, dengan anak muda menjadi modelnya. Banyak masyarakat yang belum mengetahui apa itu stunting, sehingga edukasi stunting melalui media sosial dapat mendukung program pengentasan stunting yang dikoordinatori oleh BKKBN. Dari segi konten, perbedaan antara edukasi pada masyarakat kelompok menengah hingga bawah dan masyarakat kelompok menengah ke atas hanya sebatas penggunaan bahasa. Untuk masyarakat menengah ke bawah, bahasa yang digunakan harus lebih sederhana dan menghargai kearifan lokal.
Media sosial berhasil karena beberapa hal, yakni konten, materi dan penyesuaian konten dengan kebutuhan masyarakat; penempatan yang tepat, misal : facebook (tua), IG (anak muda), Twitter (politisi), TikTok (ceria hiburan) dan bagaimana kita mengelola media sosial untuk membantu penanganan stunting. Kemasan juga penting untuk disesuaikan dengan konten dan konteks. Bagaimana mengemas penyampaian dengan menarik.
Ke depan pemanfaatan media sosial untuk mempromosikan konten-konten khususnya dalam pencegahan stunting akan semakin marak. Semoga upaya-upaya ini akan dapat menurunkan angka balita yang stunting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H