Menyimak program kuliner dan sejenis yang disajikan oleh Indovision melalui AFC, TLC, LI, dan acara sejenis di stasiun TV lokal, adalah kegemaran utama saya. Rasanya tak mungkin dalam sehari saya melewati saluran AFC, TLC and LI saat saya di rumah. Dengan menonton acara ini, imajinasi saya bebas berkeliaran ke alam rasa. Maklum saja, saya senang mencicipi aneka jenis makanan, baik lokal/tradisional maupun internasional, selain itu saya juga memang senang berkarya di dapur. Dan saya takjub dengan partisipasi aktif Malaysia untuk memperkenalkan aspek kulinernya. Dan miris dengan minusnya tayangan mengenai kuliner Indonesia kecuali baru-baru ini dengan hadirnya Farah Quin dan Pak Bondan bersama putrinya, Gwen.
Malaysia adalah satu dari negara asia tenggara yang berperan rutin dalam program AFC, dan tidak hanya satu melainkan lebih untuk mengenalkan aneka kuliner di negaranya dan lainnya. Jika kita amati, jenis makanan yang disajikan, seperti juga Indonesia, banyak yang dipengaruhi oleh makanan dari luar Malaysia seperti India, China, Thai dan seterusnya. Hanya saja kalau mereka menayangkan makanan Melayu alias ‘Malaysia asli’, saya seperti sedang melihat masakan Indonesia meski bisa dibilang ‘serupa tapi tak sama’. Misalnya, sayur urap, perkedel, dan lainnya karena bumbunya tidak persis sama.
Kesamaan tersebut atau bisa dibilang ‘serupa tapi tak sama’ bisa jadi karena masakan atau sajian tersebut sebenarnya memang berasal dari Indonesia karena tidak sedikit orang Indonesia (Bugis, Padang, Jawa, Aceh, dan lain sebagainnya) yang berimigrasi ke Malaysia sejak puluhan tahun silam (jika tak salah satu dari pemimpin besar Malaysia masih keturunan Bugis dan Padang). Dan saat berjumpa dengan orang-orang Melayu di Indonesia, Malaysia, dan di negara lain, banyak dari mereka mengatakan kalau mereka keturunan dari Indonesia hanya saja mereka adalah generasi yang ke 3 atau ke 4 dan seterusnya, dan mereka sudah tidak lagi paham berbahasa daerah asal nenek-moyang mereka yang asli Indonesia.
Warga Malaysia keturunan Indonesia tidak hanya membawa kuliner nusantara tetapi juga tradisi-tradisi lain, misalnya, wayang kulit, busana kebaya (yang diklaim oleh kawan saya dari Malaysia turunan Aceh dan Jawa – padahal jika kita ke Malaysia kebaya hampir tak tampak dipakai oleh para perempuan Melayu seperti yang kita temui ibu-ibu tua di Jawa yang masih banyak setia memakai kebaya, sedangkan umumnya para perempuan Melayu memakai baju kurung, paling tidak itu pengamatan saya saat berkunjung ke KL dan sekitarnya). Beberapa tahun terakhir, sering terjadi gesekan-gesekan antara dua negara jiran ini karena persoalan klaim budaya tersebut. Saat Malaysia belum berjaya di bidang ekonomi, klaim budaya yang marak beberapa tahun terakhir tidak terjadi. Apakah hal ini memang arogansi khas negara-negara (baca: orang-orang ) kaya secara umum? Bukankah kebanyakan orang-orang kaya memang sombong daripada sebaliknya?
Jika melihat kesamaan dan akar budaya Indoneseia-Malaysia yang hampir tidak berbeda, bukankah kesamaan ini bisa jadi kekuatan besar untuk bekerjasama lebih baik bukan sebaliknya? Ibarat saudara, kita memang tidak bisa menghindari silang pendapat satu dengan lainnya, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan kita bercerai-berai apalagi baku-hantam. Mungkin para petinggi kita perlu bicara dari hati-ke-hati dengan para petinggi Malaysia bahwa sebaiknya saudara kita di Malaysia tak perlu mengklaim warisan budaya dari Indonesia sebagai milik mereka meski para pelaku budaya keturunan Indonesia tersebut (sekarang) berstatus warga-negara Malaysia. Kehadiran budaya Indonesia yang sudah menjadi bagian dari budaya Malaysia sejalan dengan waktu dan secara alamiah, karena terjadinya migrasi penduduk Indonesia ke sana, memperkaya budaya Malaysia seperti juga masuknya pengaruh budaya-budaya asing lainnya seperti Cina, India, Amerika dan lain sebagainya. Budaya Indonesia juga diperkaya dengan unsur-unsur asing yang melebur menjadi warna Indonesia.
Saat perkawinan putri Chef Wan ditayangkan di AFC (atau TLC), Chef Wan mengakui bahwa dia masih memiliki darah Jawa (selain Cina, Arab dan Melayu). Pada program kuliner dari Singapore, pelaku kuliner mengatakan bahwa sajian istimewa yang disajikan memakai kluwek yang hanya tumbuh di Indonesia dan dengan jelas bahwa dia masih keturunan dari Cina peranakan Jawa. Kita tidak pernah ribut dengan Singapore dalam perkara makanan karena, mungkin, Singapore faham betul warganya sangat majemuk dan berakar dari budaya Cina, India, Melayu, dan Inggris (Barat). Dan sebenarnya hal yang sama juga berlaku di Malaysia. Indonesia juga tidak berbeda, meski budaya utama asing tersebut tidaklah dominan dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita.
Alangkah baiknya, jika Indonesia meniru langkah Malaysia dan negara tetangga ASEAN lain seperti Thai yang juga beberapa langkah didepan dalam mempromosikan negaranya, ketimbang kita yang hanya ribut setelah warisannya diklaim negara lain. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar dan terluas di Asia Tenggara dengan kekayaan budaya/tradisi yang luar biasa banyak dan mempesona. Adalah tanggung-jawab setiap individu bangsa Indonesia untuk memperkenalkan dan mengembangkan potensi tersebut ke seluruh penjuru dunia. Jadi, tak perlu lagi ribut-ribut Indonesia versus Malaysia! Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H