"Ta!" Dian menghambur ke pelukanku setelah mendorong kasar pintu rumah yang tidak dikunci. "Kamu benar, Ta! Kamu benar," ucapnya seperti orang linglung.
"Aku menyesal, Ta, benar kata kamu tentang prinsip kemarin. Aku menyesal sekarang." Sahabatku melepas pelukannya lalu menatapku dengan berurai air mata. "Tapi, semua sudah terlambat."
"Apa yang kamu sesali? Apa yang terlambat? Bicara pelan-pelan, Yan." Aku meraih dua lembar tisu di meja lantas kuberikan kepadanya. "Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan ceritamu," ucapku sambil menutup laptop yang tadi kugunakan untuk menulis naskah novel, sebelum Dian datang. "Tenangkan dirimu dulu. Mau kopi?"
Dian menggeleng. Aku mengamati penampilannya. Wajah yang biasa dipoles riasan tebal itu terlihat kuyu, kehilangan gairah yang dia pamerkan beberapa waktu lalu saat beradu prinsip denganku.
"Baiklah." Aku memperbaiki posisi duduk supaya kami saling berhadapan. "Katakan padaku, apa yang terjadi?"
Dian menunduk lebih dalam. Itu membuat air mata yang sudah disusutnya, jatuh lagi dalam jumlah lebih banyak. Akan tetapi, tentu saja tidak jadi soal, terkadang air mata bisa meringankan sesak di dada. Percayalah, aku tahu dengan pasti soal itu.
Kubiarkan Dian menjadi apa adanya. Melepas beban yang mungkin terlalu menghimpit, membuatnya sulit berkata-kata. Sesekali kuusap punggung wanita kuat yang sudah lima tahun berteman dekat denganku. Kami sama-sama orang tua tunggal yang bergelut di dunia literasi, inilah yang membuatku nyaman berkawan dengannya. Pembicaraan yang selalu sejalan sepemikiran, cukup menjadi alasan untuk terus mempertahankan persahabatan.
Menit-menit berlalu. Tidak terdengar lagi isak Dian, berganti dengan suara lendir yang dikeluarkan dengan paksa dari hidungnya yang memerah. Kupikir dia sudah tenang. Kusiapkan telinga dan hati untuk mendengar kisahnya.
"Ta."
"Ya."