"Begini, jika kamu memandang dunia sempit batasan harta saja. Maka kita akan menjadi umat yang hanya cinta dunia. Sukses akherat juga perlu dipertimbangkan. Begitu banyak orang bergelimang harta tapi malah terjerumus." jelas Mak.
"Kamu boleh berusaha keras untuk mengubah nasib kita, tapi perlu diingat iman adalah modal hidup kita nak. Jangan iman dan akhlak kita tergadaikan dengan harta. Ingatlah Allah memuliakan umatnya bukan dilihat dari seberapa banyak harta yang dimiliki."
Mak menggenggam tangan kiri Ardi yang berada di dekatnya.
Ardi menyuci tangan kanannya setelah makan.
"Maafkan Ardi Mak, mengeluh tentang hidup kita." sesal Ardi.
"Tidak apa Nak, semangat terus untuk maju. Ayahmu pasti bangga walaupun kamu seorang anak petani tapi Alhamdulillah, sudah Tahfiz Al-Qur'an. Sukses itu berguna bagi orang lain, maut dengan Khusnul khatimah, selamat dunia akhirat, Di." Mak memeluk Ardi dengan haru.
***
Mata Ardi terasa memanas karena air hangat telah mulai keluar. Ada sesak mengalir di dada. Membuat agak tersengal. Kesedihannya adalah ia belum sempat membahagiakan dan memanjakan maknya dengan materi. Ia dengan gigih berjuang demi mewujudkan keinginan. Tujuannya adalah agar mereka hidup dengan layak. Tentunya ia tetap ingat pada nasihat Mak. Ardi selesai membaca doa khusuk pada makam sang Mak. Istri serta anaknya berada di sampingnya pun berdiri, diikuti oleh Ardi.
Mika memegang pundak sang suami. Wanita yang menggunakan jas berwarna putih dengan jilbab bermotif bunga-bunga itu sangat memahami apa yang dirasakan oleh pria yang menikahinya selama tujuh tahun itu.
"Ayok, Pa. Mama harus ke Rumah Sakit, sebentar lagi, Papa juga harus segera menghadiri rapat dengan klien."
"Iya, Ma. Ayok!" Ardi berdiri meraih tangan putrinya yang baru berusia enam tahun.