Â
 "Kenapa, Nek?Sakit?"tanya Neng Alya ketika ia melewatiku yang sedang mengurut betis karena pegal.
   "Tidak ada, Cung, biasa sudah sepuh. Kamu sudah makan? Itu makanan di tudung sudah siap!" jawabku sambil menunjuk ke meja makan.
   "Iya, Nek. Mama mana, Nek?!" seru Neng Alya sambil menyendok nasi ke piring.
   "Loh, tadi Ibu di kamar. Sepertinya dandan mau siap-siap pergi, atau sudah pergi, ya? Nggak ada pamit," ujarku sambil menatap Neng Alya yang mengunyah seraya menganggukkan kepala.
   Bu Desma---mamanya Neng Alya adalah wanita yang hampir berusia menuju kepala empat, tetapi beberapa tahun terakhir ini kelakuannya seperti remaja putri yang sedang puber. Kerjanya tiada lain asyik dengan ponselnya, yang kusebut dengan benda pipih, karena bentuknya tipis. Waktunya banyak dihabiskan dengan benda tersebut dan bepergian ke luar bersama teman-temannya.
   Pernah kupergoki Bu Desma lama di depan cermin, kukira menghitung kerutan di wajahnya, serta merenung untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ternyata pemikiranku salah. Ia berdandan dengan lama lalu meletakkan benda pipih tersebut di depan wajahnya. Ia pun tersenyum, lalu memajukan bibirnya dengan melakukan banyak gaya  pokoknya.
Cekrek
Cekrek
Begitulah bunyinya. Gaya berpakaiannya pun modis dan wow. Ya, tidak apa juga, sih, namanya wong sugih, ya, 'kan?