"Hei! Dibawa sarapan. Pagi lagi. Pura-pura bahagia tu juga butuh tenaga lo," sapaku pada Meli.
Ia terlihat duduk tercenung. Mata sayu menatap bunga pada vas yang terletak di sudut mejanya. Sontak ia tersenyum samar mendengar perkataanku. Tanganku mengantung menyodorkan sebungkus lontong. Ia menyambut dengan gerakan slow motion.
"Nggak kok, Ra."
Aku tahu dia berbohong. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Sudahlah. Manusia punya jatah porsi masing-masing dukanya. Cuma, mungkin permasalahannya berbeda-beda. Terkadang kita harus tetap menjaga kewarasan meskipun itu mungkin dengan sikap apatis, mungkin itu yang terbaik." Aku berusaha menasihatinya dengan kalimat yang pernah kubaca pada novel.
Meli menganggukkan kepala tanda setuju.
"Ingatlah, ketika kita kesusahan, tuh masih ada dua orang pemuda yang salah menurunkan seribu batu bata di alamat yang salah," ucapku sembari tergelak.
Berharap Meli ikutan merasa lucu. Nyatanya tidak, hanya aku saja yang banyak bicara dari tadi. Wajah sahabatku itu masih datar tanpa ekspresi.
"Baca, nih!" Aku mengambil buku yang ada di laci dan meletakkan di mejanya.
Kedua alis Meli bertaut dan matanya menatapku dengan penuh tanya melihat buku tersebut.Â