Mengumpulkan  tekad semangat yang bulat menetapkan hati  melangkahkan kaki menjadi urban.  Menaburkan harapan cerah pada kota, nyatanya kehidupan begitu keras jika kita yang tak menakhlukannya, maka kita lah yang akan takhluk.  Pundi-pundi uang yang coba  aku kumpulkan tidak cukup membantu. Â
"Jika harapan itu kau rasa tiada lagi, maka pada Tuhanlah tempatmu mengadu, Nak." Suara bariton lelaki berkopiah, melepaskan kacamata dan menutup buku tebal yang sedang dibacanya. Â Matanya memandang manik mataku yang mendominasi.
Mataku nanar menatapnya, karena telah berkabut terhalang cairan bening yang mengumpul, siap menetes dengan hanya satu kedipan mata. Hatiku perih dengan diikuti kepala yang berdenyut. Bibirku kelu untuk berucap, seakan kerongkonanku kering. Suara azan samar terdengar, panggilan  salat Zuhur berkumandang.
"Tuangkan tangisanmu melalui doa yang kau tumpahkan pada Tuhan," Lelaki itu berlalu dan menepuk punggungku menuju toilet untuk berwudu.
~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H