Kala itu ....
Mentari kembali ke peraduan. Langit kuning semburat keemasan bergradasi orange.
Tenang, ya, itu betul. Mungkin manusia mengambil jeda atas aktivitas yang menyibukkan.
Senja batas siang menuju malam. Hanya sesaat sama seperti cintamu.
Untuk sebuah nama. Begitu indah cuma hanya numpang lewat. Pertemuan indah. Bahagia dan luka datangnya melewati dinding yang rapuh. Cinta dan benci hanya sekulit ari.
Belenggu rindu yang tak dapat dipenggal. Seakan membuat dunia menjadi hambar. Benci ada, tetapi inginkan kabar.Â
Di sini, dalam dada ini, begitu sesak ingin melepaskan semuanya. Lagi-lagi kukunganmu begitu kuat. Hanya mampu meraup air mata karena di ujung asa. Tiada lagi rasa itu terasa dipersembahkan untukku yang hanya mampu menelan luka.
Cinta, izinkan aku menyerah.
Cinta, kini ku tak lagi meragu.
Berlalu ....
Hidup seakan tanpa denyut nadi.
Tenggelam dalam kesunyian dan kehampaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H