"Pyur...! Pyur...sandro kanua awan. Adoh...hus...hus....Rono!
Sambil berucap Mbak Sobri mengangkat tangannya lurus mengacungkan keris seakan ingin menusuk ke langit.
Berlahan-lahan awan hitam mulai bergeser, berganti dengan awan biru putih, hadirkan terang benderang. Namun matahari masih tersembunyi, belum menampakan diri.
Mbak Sobri sepertinya belum puas hatinya. Kembali Ia menengadah ke langit dengan mata melotot, merapalkan mantra jitunya. Keris berulang kali diarahkan ke langit disertai dengan hentakan kaki.
Namun, awan yang berpindah tadi kembali hadir, suasana gelap mendung kembali.
Mbak Sobri memelototi langit, dengan wajah marah ia kembali menghentakkan kaki berulang-ulang.
Seketika awan hitam menjatuhkan rintik yang semakin membesar menjadi hujan yang lebat. Barisan penonton bubar berlarian, meninggalkan Mbah Sobri yang basah kuyup. Ia tak beranjak.
Matanya merah menatap langit, tiba-tiba petir menyambar tubuhnya. Ia terhuyung amruk diiringi dengan teriakan orang yang menyaksikan kejadian tersebut.
Tamat
Ngalur ngidul ngawurku, hanya fiksi. Mana pernahku lihat pawang hujan beraksi.
Aku yang lagi di depan pintu, sambil memegang undangan, lampu padam, gerimis musim hujan nih. Terima dingin eh maksudnya terimakasih udah ngebaca ya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H