"Win, dekatkan sikit tisu tu," pintaku pada mereka.
Meraih serta mengelap pelan pada pipi yang sudah putih berlapis bedak.
"Jika rasanya tak sanggup menerima ini, setidaknya hari ini bisakah untuk disembunyikan,"ujarku padanya.
Kedua manik mata berwarna hitam terpejam itu pun terbuka. Menatap lekat padaku yang juga intens menatapnya.
"Aku tak mencintainya, tolong aku. Dia pantas jadi bapakku bukan suamiku." Lirih suaranya sembari mengeleng-geleng kepalanya.
"Sabar, kakak cuma perias pengantin, bagaimana bisa kakak menolongmu?"
Wajah gadis berhidung bangir dan  bermata bening itu memandangiku dengan penuh permohonan. Membuatku merasa sangat iba. Ya, dapat dibayangkan bagaimana nasibnya akan hidup menjadi istri yang ke sekian dari seorang pria paruh baya kaya. Hidup dengan keterpaksaan apa bedanya menjadi seperti mayat hidup.
Aku terdiam, sambil memikirkan solusi apa yang mungkin bisa diberikan. Sebuah dilema juga bagiku, apakah harus menolong atau memilih abai saja.
Aku mendekatkan mulut ke telinganya, lalu membisikkan sesuatu. Sepasang netra indah itu langsung berbinar menatapku.
Ia menganggukkan kepala tanda paham. Aku dengan cepat melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Di bibir mungil itu sudah terbit senyuman, meski masih hambardan dipaksakan.
Akad nikah berjalan lancar. Para keluarga, kerabat serta tamu dijamu dengan berbagai hidangan. Â Suara dari pelantang pun bergantian menyuarakan berbagai rentetan acara.