"Aku tahu yang kau rasakan, sama Markonah, aku pun sangat ingin melunasi utang dengan cepat, dan tenang tanpa ada lagi pikiran tentang itu, ah, andai aku mampu." Ia langsung menyerocos. Sahabatku satu ini memang selalu pengertian.
Mataku menghangat, berkaca-kaca, memandangi wajah pucat wanita yang berbaju putih panjang di depanku. Ingin aku memeluknya.
"Berdoa dan ikhtiar ya, semangat! Tak lupa aku minta maaf, karena belum bisa melunasi utangku padamu. Andai saja waktu bisa diputar kembali," sesalnya berusaha menggapai tanganku. Namun, hanya melewati, tembus, tanpa tersentuh.
"Terima kasih, engkau mengerti keadaanku. Jangan kau pikirkan tentang utangmu padaku, tenanglah di sana." Aku menyeka air mata yang telah membasahi pipi.
Hidup memang terkadang membingungkan, seseorang yang sudah tiada, saja rela datang meminta maaf atas utang yang tak terbayar. Maaf, aku jadi mengabsen orang-orang yang berutang tadi jadinya, ya, karena memang lagi butuh. Memang berbeda dengan orang yang masih hidup, tetapi berpura-pura atau memang belum bisa membayar, mungkin!
Sosok di sampingku tersenyum sedetik kemudian terbang melesat meninggalkanku sendiri di tepi dermaga kala senja pun telah menyapa.
~
Semoga kita dimudahkan membayar utang. Pusing Markonah segera berakhir. Peace
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H