Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Manipulasi Rasa

8 Mei 2023   17:42 Diperbarui: 8 Mei 2023   17:56 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Koleksi Desain Megawati Sorek

Aku membuka mata melihat sekeliling.  Hatiku bertanya-tanya, di mana aku saat ini. Ruangan pengap dan sempit. Beberapa sampah berserakan di sekitar kakiku,  dinding cat yang telah mengelupas dan  ada juga yang berlapis lumut. Di bagian sudut banyak sawangnya.  Kepalaku masih menyisakan rasa berat dan sedikit pusing. Aku mengumpulkan kesadaran mencoba mengingat-ingat. Barulah aku sadar sebelum pingsan  aku mendapatkan pukulan pada pundak saat berada di kebun belakang rumah. Aku mencoba meronta dan bergerak-gerak. Ikatan pada kedua tangan di belakang kursi dan pada kedua kakiku sangat kuat.

Bunyi derit pada pintu usang mengalihkan perhatianku. Degup jantungku semakin kuat dan aku terkejut mendapati siapa yang datang.

"A-pa yang eng-kau lakukan Lia?" Tergagap aku bertanya kepada Dahlia. Setelah masuk ia berbalik mengunci pintu lalu melangkah menuju ke hadapanku dengan menyeringai. Pada tangan sebelah kanannya membawa pisau dapur.

Dahlia memicingkan matanya dengan sorot penuh kebencian. Pisau yang berkilat itu pun ditempelkan pada pipiku dan secara perlahan dinaikkan merayap mendekati area sudut  bawah mataku. Aku bergidik dan tak berkutik hanya melirik pada ujung pisau. Tubuhku telah basah dengan keringat dingin.

Dahlia adalah saudara tiriku, sosok yang pendiam. Pekerjaan rumah sering dikerjakan sampai selesai, hanya tamat SMA dan aku ke luar kota untuk kuliah. Semenjak kami yatim piatu karena Bapak dan Ibu meninggal  karena kecelakaan, kami dibesarkan oleh Mak Cik Edah-- adik dari ibuku yang seorang perawan tua.

"Siti, engkau puas disayang, kita bagai bumi dan langit. Apa yang kau inginkan diwujudkan, sedang aku? Hanya anak tiri! Dendam kesumat aku jadinya, tau engkau?" ucap Dahlia dengan mata memelotot.

"Tak macam tu Dahlia, sejak kecik kita dan pindah ke sini ni, kami sayangkan engkau," sanggahku. Dugaanku mungkin dia hanya iri selama ini aku lebih mendapat perlakuan khusus dari seluruh keluarga Ibuku di Riau ini.

"Sayang? Huh!" Dahlia tergelak  sampai bahunya terguncang seakan mendengar hal yang lucu. "Kalau sayang, mengapa lelaki yang kucintai, dan mencintai aku kalian ambik, Mak Cik Edah sengaja menjodohkan kalian, hah! Tega kalian," hardiknya, kali ini matanya telah berkaca-kaca seberapa menit kemudian ia menangis tersedu dan menunduk. Aku maklum pasti ia begitu banyak menyimpan luka dan rasa yang putus asa. Namun, aku ada merasa ada yang salah dan harus memastikannya lagi.

"Dayat, ucapkan bersedia akan menikah denganku, dia ucap cinta dan sayang pada aku jugak, perlakuannya manis, apa itu juga padamu, Lia?" Aku sadar pertanyaanku ini mungkin akan menambah kesedihannya, tetapi ini harus jelas pikirku.

"Apa kata engkau?" Ia mendongak dan menatapku dengan nyalang. Pisau telah diturunkannya dari wajahku, aku sedikit tenang.

"Parfum!"  aku menjawab cepat, sebelum emosi menguasainya. "Parfum sebagai tanda cinta, untuk pewangi pada bunga rampai pernikahan, sebagai tepuk tepung  tawar jika ke pelaminan, apa ada dia beri padamu?"

Dahlia terpaku, wajahnya masih datar dan dingin, selanjutnya ia menaikkan baju kurungnya sampai pinggang. Tangannya merogoh saku pada roknya. Ia mengeluarkan botol kecil putih bertutup kuning keemasan.

"Ya, itu, aku juga dapat, dikasih jugak dengan campur janji manis. Kau tahu artinya apa? Kita dimanipulasi," pungkasku dengan suara tegas. "Dia tak inginkan kita berdua, sengaja adu kita, Lia, sadarlah, engkau singkirkan pun aku, dia tak kan pilih engkau sebagai pendamping. Kita tak bisa lanjutkan hubungan yang merosak ini. Mari sama-sama kita selidiki apa maksud dia sekarang ni?"imbuhku lagi. Berharap negoisasi ini bisa diterima olehnya.

"Semua palsu, tak ada cinta buat aku, untuk apa aku hidup, Dayatlah harapanku. Macam ni, baik aku mati, mati, mati!"ucapnya dengan histeris dan berlonjak-lonjak seperti orang kesurupan.

"Lia, Lia, dengar cakap aku!" Aku panik dan berusaha menyadarkannya."Ngucap, Lia, ingat Allah, Lia, aku sayangkan engkau  saudaraku, Lia!

Dahlia tidak mengubris, dia masih berlompat-lompat ke sembarang arah di depanku.

Tiba-tiba pintu didobrak dengan keras. Tiga orang berseragam cokelat bersama Mak Cik Edah menerobos masuk. Mak Cik Edah langsung saja menghambur ke arahku tanpa peduli dengan Dahlia yang berada beberapa langkah di sampingku.

"Angkat tangan, serahkan diri!" perintah salah seorang polisi mengacungkan pistol ke arah Dahlia. Mereka berhadapan-hadapan. Mak Cik Edah dan satu polisi membukakan tali pengikat pada kedua tangan dan kakiku dengan cepat. Lalu menyeret langkahku untuk kami berada di belakang polisi yang memegang pistol.

"Dayat, tega kau! Mak Cik, Siti, tega kalian! Biar aku mati, mati saja!"  Wajah Dahlia menghiba dan selesai berucap ia menghunuskan pisau ke perutnya. Aku dan Mak Cik Edah histeris dan syok.

Dahlia tak tertolong. Dayat datang ke pemakaman dengan raut sedih. Aku tak bisa membaca apa yang ia rasa. Batinku berkata, nanti  akan ada hal yang akan kulakukan padanya! Dua gadis Melayu telah berseteru oleh karenanya.

~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun