Wajah kuyu Mak tersenyum tipis.
"Mak, ingin anak Mak pegi, dan Alhamdulillah, merasa bersyukur sekali atas kesempatan dari yayasan tersebut," ujar Mak, tangannya yang keriput itu mengelus-elus pipiku.
"Tapi, Mak, akan sendirian." Mataku berembun. Aku takut Mak akan menghadapi kesulitan jika seorang diri.
"Tak apa, Nak. Hanya setahun. Itu hanya sebentar tak kan terasa waktu berlalu,Mak tau menjadi hafidz Qur'an adalah cita-citamu sedari tobat dulu, pergilah, Nak, usia makin bertambah pula. Belajar itu sepanjang masa."
Mak benar, keinginanku sangat kuat ingin menjadi penghafal Al-Qur'an. Setelah mendengar keutamaan yang didapat jika menjadi hafidz sangat banyak. Aku ingin luruh serta menyatu dengan ayat-ayat indah milik-Nya. Kalbu yang tenang akan diperoleh kata temanku yang sudah selesai mengikuti beasiswa dari yayasan itu.
"Mahkota itu Nak, Mak ingin Faisal memasangkannya di kepala Mak kelak, Nak, hapus galaumu, Mak di sini baik-baik saja, ada Allah yang menjaga. Para tetangga sanak saudara juga ada. Pergilah, Nak." Mak meyakinkan lagi.
Akhirnya, di sinilah aku. Bersama para santri yang masih belia. Aku yang sudah dewasa merasa malu juga sebenarnya. Namun, tekad yang kuat akhirnya kemampuan itu pun diraih. Semuanya seakan dipermudah dan jalannya yang lancar.
Saat akan pulang ke kampung, terbayang raut Mak yang akan tersenyum bahagia. Ia pasti bangga dan aku pun merasa berguna.
"Makmu sengaja berwasiat agar kami tidak mengabarimu ketika beliau sakit hingga akhir hayatnya. Katanya itu akan menganggu konsentrasimu, Le."
Ucapan Pak Lek itu membuat tubuhku luruh seakan tak bertulang. "Mak!"lirihku memeluk batu nisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H