Tubuhku digoyang-goyang, terasa tangan kasar mengelus pipi.
"Bangun, ayuk, sahur." Suara serak nenek membangunkanku.
Mataku masih berat dan lengket. Aku hanya bergumam pelan dan merekatkan pelukan ke bantal guling.
"Puasa ndak? Buruan bangun. Nanti nenek tinggal, yo,"ucap nenek pelan masih mengelus pipiku.
Aku pun membuka kelopak mata serta mengucek dengan telunjuk dan jempol tangan.
"Iya, Nek," Mataku sudah jelas melihat nenek yang duduk di sisi ranjang. Wanita sepuh itu mengenakan mukena mungkin baru selesai salat tahajud.
"Ayok," Ia berdiri dan keluar menuju pintu kamar yang diikuti oleh pandanganku yang melihat punggungnya yang sudah bungkuk. Aku masih rebahan, termenung. Aku menganti posisi yang tadinya berguling telentang menjadi tengkurap. Aku menyangga dagu dengan tumpukkan punggung tangan. Kasihan nenek di usianya yang seharusnya berisitirahat dan menikmati hari tua. Masih harus merawatku dan berjualan sayur ke pasar pagi setiap hari.
Ah, aku jadi rindu mak dan bapak. Kebersamaan dengan mereka setahun yang lalu kini hanya tinggal kenangan. Usiaku saat itu yang baru menginjak sebelas tahun memang lagi susahnya untuk dibangunkan sahur. Mak dan bapak sampai mengelitikiku. Hingga membuatku menyerah dan mereka berdua terkekeh melihat ulahku yang sewot setelah itu. Saat menjelang berbuka maka bapak akan mengajakku untuk ngabuburit sedangkan mak sesekali saja ikut, karena sibuk mempersiapkan pembukaan puasa.
Aku rindu suasana rumah yang dulu, canda dan kebersamaan tempatku mengadu dan bermanja. Saling bercerita di saat makan, pergi jalan-jalan di saat libur sekolah. Sampai akhirnya perdebatan sering kudengar. Lalu, semakin hari perdebatan itu mulai memanas. Hingga sering kali berlanjut di meja makan.
Kadang tidak sempat lagi bagiku untuk memberi tahu tugas sekolah yang diberikan guru. Karena, jika salah satu dari mereka mulai bicara, pasti akan berdebat dan raut wajah kedua orang tuaku penuh kemarahan.