Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Mati

17 Maret 2023   17:49 Diperbarui: 17 Maret 2023   17:51 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saskia, Papa bermimpi mendiang kakekmu, dalam mimpi itu ia memberi peringatan tentang dirimu yang akan menghadapi bahaya," jelas lelaki yang berusia setengah abad itu dengan wajah penuh kecemasan.

"Ih, Papa, masihan percaya bunga tidur begitu, udah nggak zaman juga. Sekarang itu teknologi berkembang, Pa, era digital,"sanggah anak gadisnya.

Mamanya yang datang membawa dua piring nasi goreng berdiri di samping Saskia.

"Kamu itu, kalau dibilangin Papa, coba didengar, Sas." Ia menaruh sendok pada santapan sarapan. "Kamu tahu? Dulu papamu pernah diselamatkan kakek yang memiliki ilmu kebatinan. Waktu muda, papamu pernah ditaksir kuntilanak!"

"Hah!" seru Saskia, "Bisa gitu, benaran, Pa?" Gadis berambut cepak itu menghentikan suapannya serta memandang serius ke arah papanya. Mama Saskia juga mengarahkan pandangan pada suaminya seakan-akan menyuruh untuk  menjelaskan.

Lelaki yang masih terlihat tampan di usia tua itu menyesap kopi. Matanya menerawang jauh  mengingat kejadian silam dan berkata, "Sebenarnya semasa hidup, Sumiati gadis yang baik, adik tingkat yang lincah, nasib nahas menimpa, ia diperkosa dan dibunuh dengan sadis, lalu bangkit membalas dendam. Salah satu pelaku adalah teman kuliah Papa, Sumiati mencintai Papa semasa hidup sampai matinya, bersama kakekmu, kami berusaha mengembalikan ke dunianya, tetapi ia menolak dengan dalih tetap ingin menikah dengan Papa, hal itu membuat kakekmu murka dan mengusirnya ke suatu tempat. Sampai kakekmu meninggal, tidak tahu lagi di mana keberadaannya. Papa khawatir ia akan kembali."

***

Saskia terlalu asyik bermain ponsel,  duduk santai di teras, sudah sekian menit  waktunya  habis hanya menatap layar benda pipih tersebut, berselancar ke media sosial.  Ia tersadar ketika melihat sekeliling sudah temaram. Ia hanya sendirian di rumah  karena papa dan mamanya belum pulang dari tempat neneknya. Ia  menolak diajak ke kampung ibu dari mamanya itu. Perjalanan ke kampung yang melalui jalan yang tak mulus  dan berada di pelosok.  

Gadis yang masih kuliah di semester tiga itu pun memutuskan masuk ke rumah. Secepatnya ia menyalakan seluruh lampu ruangan dan menutup  gorden dan jendela. Ketika itu awan mendung berduyun-duyun datang, berdesakan di langit gelap dengan kehitamanan yang pekat. Langit bersiap akan mencurahkan hujan. 

Sebuah kilatan cahaya putih membentuk guratan garis tak beraturan di langit, diikuti gemuruh menggelegar dan bersahut-sahutan. Angin  berembus sedikit kencang. 

Saat ia bersiap-siap mengambil wudu untuk melaksanakan salat Magrib, tiba-tiba lampu padam. Ia berbalik dan keluar dari kamar mandi untuk mencari penerangan. Gadis itu meraba nakas dan menghidupkan lampu digital androidnya.

Telinga Saskia mendengar suara asing dari arah pintu kamarnya. Gadis itu menajamkan  indra pendengarannya. Suara langkah kaki yang diseret. Disambung dengan suatu keanehan, malam belum begitu larut, tetapi binatang malam saling bersahutan membuat suasana makin mencekam. Bulu-bulu halus di tubuhnya meremang. Aroma amis darah pun terhidu oleh hidung Saskia.

Debaran gugup di dada, dengan langkah pelan dan tubuh gemetar  ia mengikis jarak pada pintu. Wajah gadis itu sangat tegang, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Saat ia menempelkan telinga di dinding pintu, suara itu pun menghilang.

"Nyawamu untukku, jika tak menerima cintaku." Suara bisikan yang sangat dekat di telinga Saskia.

Gadis yang biasa berpenampilan tomboi itu terkesiap. Suara serak  itu ia kenali, milik Pramasta. Tubuh gadis itu luruh dan terjengkang ke belakang. Jatuh terduduk di lantai keramik yang dingin. Manik mata Saskia membeliak. Sementara telapak tangan kanan  membekap erat mulutnya yang terbuka lebar.

Pramasta yang beberapa minggu menghilang. Lelaki yang menyatakan cinta  kepadanya. Ia tolak mentah-mentah. Bukan hanya itu, tindakan Pramasta yang seakan-akan bagai penguntit membuat gadis itu gusar. Tanpa sengaja Saskia mengeluarkan kata-kata hinaan.

"Ma-afkan a-ku, Pram," gagap Saskia dengan wajah penuh penyesalan. Rumor tentang Pramasta itu ternyata kini ia alami. Santer beredar lelaki berkepribadian aneh yang harus mendapatkan apa yang ia inginkan dengan cara klenik.

"Hahaha!" Suara tawa tanpa wujud itu menggema. "Katamu lebih baik mati daripada menerima ku, kalimat makianmu itu  akan kubuktikan."

Selesai ucapan Pramasta bernada mengeram itu, tubuh Saskia terpental menghantam dinding beton kamar. Jeritan kesakitan keluar dari mulut mungilnya karena merasakan hantaman pada punggungnya yang terasa nyeri.

Dari arah  pintu kekuatan dua tangan hitam kurus berkuku panjang  menembus daun pintu dan  terulur meraih leher Saskia. Cengkeraman itu makin kuat membuat  ia kesulitan bernapas.

"Hentikan!" bentak suara melengking dari seorang perempuan.

Lewat matanya yang nanar dan napas tersengal Saskia melihat sosok wanita berbaju putih lusuh keluar dari kabut putih tak jauh dari sampingnya.

"Cukup, hentikan perbuatanmu!" Perempuan itu kembali berucap lantang.

Sekelebat bayangan secepat kilat muncul di hadapan mereka. Lelaki bertubuh kurus dengan wajah pucat dan mata yang memerah. Dari mulutnya mengeluarkan erangan, lidah sedikit terjulur, lehernya bergerak ke kiri dan ke kanan, gerakan teleng bergantian itu dilakukannya dengan pelan.

Perseteruan dua makhluk gaib itu pun terjadi, Saskia yang masih terengah-engah hanya terhipnotis memperhatikan. Tak lama kemudian ia melihat wujud kuntilanak yang datang menolongnya itu berteriak karena mendapat pukulan telak berupa cahaya terang yang keluar dari kedua tangan Pramasta.  Bersamaan setelah itu menjadi kabut dan menghilang. Saskia mencoba beringsut ke arah tepian ranjang dan menopang tubuhnya agar bisa berdiri.

Saskia kembali terjatuh karena Pramasta yang melihat ke arahnya dengan nyalang dan mendekat. Rasa ketakutan melingkupi, wajah Saskia menjadi pucat pasi. Jantungnya berdetak dengan cepat dan tubuhnya telah menjadi kaku. Selanjutnya ia merasakan getaran dan tiba-tiba bayangan putih itu merasuki tubuhnya.

Kekuatan yang sangat dahsyat seakan menyatu antara raga Saskia dan makhluk tak kasatmata. Saskia merasakan aliran darahnya dipompa oleh jantung dengan cepat, memberikan energi berlipat ganda. Ia merasakan panas dan hasrat membunuh begitu menggelora.

***

"Untunglah, kamu sudah sadar, Nak," Mama Saskia tersenyum tipis.

Saskia merasakan sakit pada seluruh tubuhnya, ia meringis, matanya yang setengah terpejam, ia buka sepenuhnya.

"Ma," lirih Saskia. Matanya memandang  papa dan mamanya.

"Minum dulu." Mama Saskia membantu menegakkan kepala anak semata wayangnya.

Saskia yang merasa dahaga, dengan beberapa tegukan saja membuat gelas itu menjadi kosong.

 "Saskia, Papa tak bisa membayangkan jika saja Sumiati tidak tepat waktu, dirimu pasti sudah tiada saat ini, Pramasta menganut aliran sesat dan bersekutu dengan jin untuk mencapai tujuannya."

"Kita patut bersyukur, hal itu tak terlepas dari izin Allah Subhana Wa ta Alla tentunya," tambah perempuan yang telah melahirkan Saskia mengingatkan.

"Alhamdulillah." Saskia menangkupkan kedua telapak tangannya sesaat ke wajah. "Saskia menyesal, Ma, Pa, Saskia janji tidak akan berkata kasar dan menyakiti hati orang lain lagi," ujar Saskia penuh penyesalan.

 "Syukurlah kamu sudah mengerti,"Setelah papa Saskia berucap, ia menepuk pelan bahu kiri sang anak. Ia pun mengembuskan napas dengan kasar dan berlalu keluar kamar.

***

Halaman belakang rumah yang hanya diterangi lampu redup. Sosok berbaju putih sedang duduk di dahan pohon mangga yang rimbun. Suara tawanya nyaring dan melengking.

"Akhirnya, saatnya, kau menjadi suamiku, sebagai balas budi,"ucap si kuntilanak di sela cekikikannya.

Papanya Saskia hanya berdiri mematung dan memandang sayu pada makhluk menyeramkan di depannya. Ia menelan ludah, tak mampu berucap.

~

Bionarasi

Nama asli Megawati, domisilinya di Sorek. Seorang penulis yang masih terus belajar, dan ngerusuh di sana-sini. Hobinya nge-event antologi, Alhamdulillah telah melahirkan sebuah novel roman "Bu Guru, I Love You" dan kumpulan cerpen berjudul "Entahlah".

Penulis bisa ditemui di akun efbe-nya  yaitu Ayue Mega Bunda Aliqha dan IG @bundaaliqha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun