Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Efek Ketakutan

12 Maret 2023   15:20 Diperbarui: 12 Maret 2023   15:29 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri : Koleksi Pribadi Megawati Sorek 2010

Tiba-tiba saja jalan di depanku berubah lebih gelap dan panjang.  Aku lihat kanan-kiri  tidak ada lagi pemukiman penduduk. Kupikir mungkin kami melintasi jalan yang di sisinya hutan.  Aku terus menyetir, dan dikagetkan dengan adanya  merasa angin berembus, angin itu ditiupkan tepat di wajahku. Tunggu! Ini bukan jalanan aspal yang kami lalui tadi. Kupicingkan mata melihat tepi jalan, bukan hutan, tiada pepohonan maupun semak belukar yang terlihat hanya gelap gulita. Mobil yang melintas tiada lagi, mana para pengendara yang tadinya ramai lalu lalang? Sunyi.

Jantungku mulai berdebar, detaknya semakin laju. Aku sapukan pandangan ke ruangan mobil. Istriku yang duduk di sebelah  dan kedua anakku yang berada di belakang tertidur dengan pulas. Karena angka jam digital di mobil menunjukan pukul 03.00 dini hari. Kami memang kemalaman di jalan, perjalanan dari Sumatera Barat menuju Riau sangat padat di saat liburan akhir tahun.

Menyadari ada yang tidak beres, mulutku komat-kamit merapalkan apa saja yang kuingat. Terutama ayat kursi serta surah pendek. Terus mengulangi sambil menenangkan hatiku yang dikecam ketakutan. Embusan angin tepat di depan wajahku kembali mendera, bulu tengkuk merinding. Bulu-bulu lebat di lenganku pun meremang.

"Ma, Mama! Bangun!" seruku memanggil istriku.

"Hm ...," gumamnya pelan, ia bergeming. Matanya masih tertutup.

"Bangun, Ma!" ucapku lebih keras serta sebelah tanganku menggapai bahunya. Akhirnya  berhasil membangunkannya. Tiba-tiba mata istriku terbuka dan mata itu putih semua, tidak ada kornea maupun pupilnya.

"Papa!" panggilnya dengan suara parau, menyeringai menampakan gigi taring, serta kepala yang di miringkannya.

"Allah!" teriakku terkejut, menginjak rem, serta tubuh dan bahuku menghantam pintu mobil. Menghadap ke istriku yang semakin mendekati wajahku.

"Hi...hi...hi....!" istriku tertawa keras.  Ah ... bukan istriku tapi hantu.

Aku yang ketakutan yang teramat dasyat, tubuh sudah bergetar, keringat dingin bercucuran. Mulutku tak sanggup lagi membaca doa, mataku terbelalak melihat pemandangan mengerikan tersebut.

Aku mencoba memejamkan mata dengan cepat, berharap penampakan tersebut menghilang dari depanku. Namun, embusan napas hangat disertai desisan dan erangan yang ramai sangat dekat menyapa muka.

Secara berlahan membuka mata seraya menahan napas. Refleks aku berteriak menyaksikan tiga wajah tepat di depanku, istri dan anak-anakku dengan rupa yang sama, mata putih semua dan bertaring.

Rasa takutku sudah tak terkira, menggigil, mengalirkan air hangat merembes dari celana atas hingga ke kaki. Puncaknya akupun pingsan.

"Tok! Tok! tok!" sayup terdengar kaca mobil diketuk.

Selanjutnya aku merasakan, tubuhku di goyang, dengan berat mataku terbuka dengan setengah sadar.

"Kenapa,  Ma?" tanyaku.

"Itu kaca mobil diketok, bukalah." jawab istriku.

Aku pun dengan cepat menurunkan kaca mobil, terlihat pria dewasa berdiri di sisi mobilku. Kondisi malam, lekuk liku wajahnya tak begitu jelas terlihat.

"Pak, macetnya sudah mulai terurai, mobil depan sudah jalan tuh, diklason nggak juga jalan," Gerutunya dengan kesal, sambil berlalu memutar balikkan badannya lalu berlalu ke belakang. Tanpa menunggu responku.

Aku berusaha mengumpulkan kesadaran, mobil di depan ternyata sudah bergeser dua meter dari mobil kami. Langsung, aku starter, memasukkan gigi serta menginjak pedal gas, merapatkan mobil ke mobil yang di depan. Di ikuti pula mobil yang di belakang kami.

Aku coba mengingat peristiwa tadi, apa bermimpi, sambil tanganku memijit kening. Tadi memang macet total, mobil tidak bisa melakukan pergerakan, mungkin hal itu membuatku mengantuk dan terlelap.

"Bau pesing," celetuk istriku sambil tangannya pun menghidupkan lampu dalam mobil. Terlihat  bibirnya yang dimanyunkan. Ia memasang wajah heran celingukan ke arahku dan ke bangku belakang. Meraba celana kedua jagoan kami yang masih lelap.

Astaga, aku tersentak, dengan cepat meraba celana, basah. Menyambar tisu yang mengantung di langit-langit mobil. Menempelkannya di atas  pangkal pahaku serta segera menciumnya. Ngompol.  Bagaimana aku menjelaskan ini pemirsa?  Tanganku mengaruk kepalaku yang tak gatal dengan tersenyum kecut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun