"Adi!" Â jerit Ibunya datang dengan tergopoh-gopoh. "Panggil bantuan cepat. Biar, Mak siram!" seru Sutinah dengan sigap merebut ember ditangan Adi.
"I-ya, Mak" Adi berlari keluar.
Saat Adi  bersama para tetangga datang, si jago merah telah membesar melahap separuh rumah papannya yang memang mudah terbakar, dan ditambah lagi akibat cuaca tengah panas serta iringan embusan angin. Api dengan cepat berkobar dan menyebar bersamaan dengan suara merentihnya kayu papan yang terbakar.
" Mak, Mak, ... tolong Mak!"Adi berusaha masuk ke dalam kobaran api yang sudah menguasai lokasi. Bangunan kayu tempat Ia lahir dan bertumbuh itu tidak terlihat utuh lagi, atapnya yang memang sudah berusia tua itu ambruk. Beberapa tangan menangkap Adi menahannya. Tubuh Adi merosot ke bawah, terduduk histeris. Warga sibuk bergotong royong menyiram dengan alat dan air sekedarnya sambil menunggu bantuan mobil pemadam datang.
***
Adi terduduk lesu, matanya bengkak dan sembab,tubuhnya terguncang karena tangisan yang tak kunjung reda. Berharap ini tak pernah terjadi, Ia harus kehilangan Ibu terkasih karena kelalaiannya. Betapa penyesalan ini begitu besar dan perih menancap di hatinya. Akan menjadi kenangan buruk yang selalu menghantui.  Mungkin inilah makna  mimpi buruk disaat terakhir kebersamaannya dengan Ibunya saat itu. Satu pelukan nyata yang ingin dilakukannya, terasa akan bermakna dibanding seribu pelukan di batu nisan yang hanya bisa dilakukannya saat ini.
Seorang pria paruh baya, memegang pundaknya.
"Ayo, kita pulang," ajak ayah Adi.
Dengan mengumpulkan  tenaga yang tersisa, Adi berusaha berdiri mengikuti langkah kaki Ayahnya, yang mengajaknya hidup bersama. Ada rasa keraguan serta kecemasan yang beriringan dirasakannya. Adi hanya berharap tiada bencana lain ketika dia akan serumah dengan Ibu serta saudara tirinya kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H