Aku sedang duduk santai diteras, memandangi jalan sore ini.
"Nek!" sapa anak tetangga yang remaja berseragam putih-biru dengan rambut dicat warna pirang.
Aku tersenyum dan mengangguk, mataku menyipit memandanginya yang berlalu masuk ke rumahnya.
Zaman tak lagi sama, semua sudah berubah. Tubuhku pun semakin sepuh dan ringkih. Masa perjuangan hidupku sudah mendekati akhir. Â Cuma, ada hal masih kutak mengerti, pola asuh dan didikkan memang harus juga melihat masanya. Aku tahu hal itu, anak sekarang banyak ragamnya ya? Ingat, aku dulu memiliki anak yang banyak, seorang janda, yang ditinggal oleh suami yang berjuang dan tak kembali lagi.
Kehidupanku saat itu hanya memikirkan bertahan hidup mengisi perut, artinya ya ekonomi saja. Semua serba sulit. Sedangkan untuk anak-anak seakan sadar dan mengerti tanpa harus aku berkoar-koar menjelaskan dan  menasihati. Mereka bergotong royong, gigih saling membantu, demi kehidupan yang lebih baik. Sekolah dengan serius, belajar sungguh-sungguh sehingga menjadi cerdas. Hidup dengan prihatin, tetapi bahagia. Daya juang yang tinggi dan tidak banyak ulahnya.
Berbeda sekali, dengan apa yang kulihat pada saat ini, Ah, apa karena dunia sudah tanpa sekat itukah? Yang katanya segala informasi dan komunikasi hanya dalam gengaman. Imbasnya ternyata di segala aspek kehidupan, termasuklah dunia pendidikan. Â Bagaimana bedanya janda zaman dulu dan janda zaman sekarang? Perjuangan dengan medan yang berbeda, makin sulitkah?
Kulihat membesarkan anak satu sendirian begitu sulit, oh, bukan hanya untuk keuangan, tetapi pada kasih sayang dan perhatian. Anaknya bertingkah anehkah? Kenakalan anak broken home mereka bilang . Menjadi orang tua tunggal memang sulit, berjuang sendiri, mengambil keputusan, penghasil nafkah. Goncangan dan kepungan globalisasi begitu menghimpit, semua serba instan. Pengaruh yang buruk begitu sadis menikam nilai peradaban. Sisi baik seakan hilang melayang, tiada lagi simpati, empati, hilangnya sisi kemanusiaan. Seakan bahagia, sedih, cinta atau emosi apapun juga itu  datar saja, berjalan begitu saja. Hampa atau apalah lebih tepatnya, cuma satu yang pasti nyata. Benda pipih yang mereka genggam seakan raja. Oh, bukan mungkin mereka anggap Tuhan. Ketergantungan, melalaikan dari apapun bahkan panggilan Tuhan yang asli saja mereka abaikan.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara riuh dari rumah tetangga.
"Mama yang nggak ngertiin, Mel. Lebih baik Mel pergi!"
Anak remaja itu keluar rumah dengan disusul oleh ibunya yang masih memakai handuk di atas kepalanya.
"Mel, Â Mel dengar, Â Mama, Mel!"