Percakapan di mulai oleh Pak Sardi ketika mereka melanjutkan perjalanan.
"Kita menuju ke rumah bapak ya, Paijo, oke."
"Tapi, Pak, saya harus jumpa nenek saya dulu."
"Nenekmu nanti dijemput saja oleh asisten bapak. Di rumah bapak banyak baju bekas anak bapak, sepertinya itu muat sama kamu. Belum lagi  ibuk di rumah pasti senang liat kamu. Mau ya ke rumah, bapak," bujuknya.
Paijo tak mampu menolak.Ia mengangguk cangung.
Tak sampai setengah jam mereka sampai ke jalanan pinggir kota yang sepi. Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu pun masuk ke parkiran rumah yang berpagar terali setinggi dua meter dan di penuhi ukiran. Penampakan rumah bertingkat di kelilingi tembok tinggi itu membuat Paijo menganga. Matanya penuh takjub melihat taman serta pepohonan yang menghiasi halaman, dalam hatinya ia seakan mimpi.
Hati anak yang tak pernah makan enak itu sedang bergembira membayangkan keberuntungannya hari ini yang akan beruntun. Â Makan enak, dikasih baju, apa lagi pikirnya. Akankah ia akan diambil menjadi anak asuh mereka. Hidup bergelimang harta dan merasakan kekayaan.
Anak yang tak pernah merasakan makan enak itu mulai mengkhayal ia nantinya akan membalas teman-teman sekolahnya yang suka menghina dan mengejeknya. Lalu, juga ia akan membantu para tetangga serta anak yang bernasib sepertinya.
Sungguh mulia cita-cita anak tersebut. Walau itu belum terlaksana. Senyumnya tak pudar sejak ia turun dari mobil dan memandang pintu gerbang rumah besar tersebut.
Tak lama kemudian, dua orang berpakaian dan berkaca mata hitam dengan tubuh tegap membukakan pintu. Serta menyapa ramah.
"Bos, dapat umbi di mana?"