Suara deru sepeda motor yang ramai terdengar. Aku segera mengintip dengan membuka gorden jendela. Itu pasti Kak Riska dan teman-temannya datang. Kak Riska anak kuliahan yang gaul, ceria dan ramah. Itulah sebabnya ia banyak memiliki teman. Berbanding denganku yang terkesan pendiam dan tak banyak memiliki teman. Mereka sering kumpul dan mengerjakan tugas di gazebo belakang rumah. Suasana gazebo yang dingin karena dikelilingi dengan berbagai tumbuhan rindang. Ditambah dengan sikap papa dan mama yang juga welcome terhadap para anak muda tersebut.
Aku  yang sedang mengganti  baju  seragam putih abu-abu  bergegas menuju jendela. Melihat sekawanan kakakku sedang memarkirkan sepeda motornya.  Dari lantai dua ini aku lebih leluasa memindai mereka. Kali ini dari beberapa temannya yang sudah kukenal ada sosok wajah baru. Tak pernah kulihat sebelumnya. Apakah itu teman baru Kak Riska? Pemuda bertubuh tegap, dengan rambut gondrong sebahu. Rahang wajah tegas, dan yang paling menarik mata tajam dihiasi dengan alis hitam yang tebal. Pria yang menarik perhatianku itu sepertinya membawa sesuatu. Alisku bertaut memperhatikan lebih intens. Sepertinya painting kit, apakah ia seorang pelukis? Aku jadi penasaran, selama ini aku juga seorang penikmat lukisan. Aku suka dengan pemandangan panorama terkesan lembut dan adem.
Kuputuskan akan ikut bergabung pada mereka. Â Setelah mematutkan diri di depan cermin, aku poles kembali bibir dengan pelembap agar terlihat segar, makan siang ditunda saja dulu. Aku menuruni anak tangga dengan semangat.
"Kak, ini minuman dinginnya." Aku tersenyum ke arah kak Riska dan teman-temannya. Aku sengaja mengambil alih kerja Mbok Tinah agar dapat mendekati mereka.
"Eh, Sania, makasih ya," ucap Kak Riska meresponku. Aku memperhatikan sosok pria yang belum kukenal itu sedang melihat-lihat taman.  Sepertinya ia mencari sudut pengambilan objek lukis. Wajahku yang penasaran mungkin membuat Kak  Sulis mengerti.
"Itu, Bang Bian namanya, anggota baru kami dia baru bergabung dan minta tolong mencari objek lukisan,"jelasnya padaku sembari menunjuk punggung  Bang Bian.
Tak lama Bang Bian berbalik arah dan menuju ke arah kami. Pandangan kami berserobok, ya tuhan, semakin dari dekat, Â pesonanya semakin kuat. Ini cowok kenapa nggak jadi artis aja sih? Pasti banyak yang mengidolakan jika hal itu terjadi.
Kami pun berkenalan, kali ini aku yang biasanya tak pernah bergabung dengan aktivitas kakak , begitu kentara nimbrung  dengan mereka. Bang Bian lucu dan menyenangkan dan begitu serius ketika tangannya memainkan kuas di atas kanvas. Menarik, ah, aku yang biasanya pemalu mengapa sekarang sepertinya menjadi agresif ya?
Dari obrolan siang itu aku menjadi lebih mengenal Bang Bian. Topik pembicaraan kami selalu nyambung, apalagi berkaitan dengan hal perlukisan. Hari berikutnya aku sangat bersemangat jika kakakku pulang dengan membawa teman-temannya.  Alasanya yang aku kemukakan tentunya  perihal ingin belajar melukis. Hati ini berbunga, rindu mulai membelengu,  wajah  Bang Bian terus melekat di pelupuk mataku. Sering, sebelum tidur aku  menutup wajah dengan bantal , memegang dada untuk merasakan debar jika baru saja bertemu dengannya siang tadi. Ingatan terus memutar memori kebersamaan dengannya. Senyum terus merekah tanpa bisa ditahan. Rasanya, cinta memang sudah menguasai, apa aku seperti orang gila? Mungkin saja, iya. Bang Bian bagai candu untukku.
***
"Kak, lho, kok Bang Bian, nggak ikut ngumpul?" tanyaku pada kak Riska yang melaluiku ketika aku telah menunggu di teras rumah.