"Laut dan pantai tidak akan menghargai mereka yang terlalu gelisah, terlalu serakah, atau terlalu tidak sabar"
Yogyakarta (11/12/2021) - Pekan ini, pemberitaan dipenuhi soal pemerintah China yang dilaporkan melakukan protes terhadap pemerintah Indonesia. Dalam laporan Reuters, China disebut meminta RI untuk menyetop operasi pengeboran minyak dan gas di Natuna, Laut China Selatan (LCS). Â Terungkap dari penyataan Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan dikutip media tersebut, Rabu (1/12/2021), Negeri Xi Jinping berpendapat lokasi berada di wilayah klaimnya dengan konsep sembilan "garis putus-putus".
Lantas, seberapa besar 'harta karun' di Laut China Selatan? Menurut Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Hadi Ismoyo sempat mengatakan kepada CNBC Indonesia bahwa potensi besar gas di Blok East Natuna ini bahkan telah ditemukan sejak 47 tahun lalu. Tapi sayangnya hingga saat ini belum juga bisa dieksploitasi. Kendalanya, menurut Hadi Ismoyo yaitu karena kandungan karbon dioksidanya besar sekali mencapai 71%. Sehingga dibutuhkan teknologi canggih dan investasi tinggi untuk mengelolanya. Menurutnya, aktivitas pengeboran di daerah Natuna ini, terlebih berbatasan dengan LCS menjadi sangat penting untuk segera dilakukan. Bila ada kegiatan pertambangan seperti ini, maka menurutnya tidak akan mudah diklaim oleh negara lain bahwa kawasan tersebut merupakan milik mereka.
Ternyata, ini 'pangkal' Sengketa Laut China Selatan, terdapat paling sedikit 3 hal yang membuat Laut China Selatan menjadi wilayah perairan yang rawan konflik besar dewasa ini dan masa mendatang.
Pertama, Laut China Selatan adalah sebuah kawasan perairan dengan potens sumber daya alam (SDA) yang kaya, terutama minyak dan sumber energi lainnya, dengan beberapa gugusan pulau, yang tersebar di sekitarnya, yang menjadi perebutan saling klaim beberapa negara di sekeliling kawasan, seperti China (Republik Rakyat China --RRC), Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Kedua, karena letaknya yang berada di jalur perlintasan kapal-kapal internasional yang melewati Selat Malaka, salah satu yang paling sibuk di dunia, dan merupakan jalur penghubung perniagaan dari Eropa ke Asia dan Amerika ke Asia dan sebaliknya, melalui wilayah perairan negara[1]negara di paling sedikit di 3 kawasan penting, yakni Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia-Pasifik, maka, selain negara pengklaim itu, negara-negara yang terletak di sekitar Laut China Selatan tersebut, seperti Indonesia dan Singapura, bahkan Amerika Serikat (AS), berkepentingan setiap saat atas terjaganya stabilitas dan keamanan di Laut China Selatan.
Terakhir, pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia, terutama China, dan sebaliknya pertumbuhan yang menurun terus di Eropa dan AS, membuat banyak negara berupaya memperoleh kontrol atas atau memperebutkan kawasan perairan yang strategis dan dinamis itu, yakni Laut China Selatan.
Singkat kata, Indonesia memiliki kepentingan yang konkrit di Laut China Selatan. Jika eskalasi ketegangan di Laut Cina Selatan mencapai tahap konflik bersenjata di laut, hal tersebut akan berdampak terhadap kedamaian dan keamanan kawasan. Secara politis, hal tersebut akan menempatkan Indonesia dalam posisi yang sulit, berada di antara dua major powers yakni Tiongkok dan Amerika Serikat. Di pihak lain, peta nine-dash line yang diajukan oleh Tiongkok kepada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyertakan sedikit bagian dari ZEE, yang juga merupakan salah satu alasan mengapa Indonesia mengambil peran aktif dalam penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.
Terkait kepentingan ekonomi, kekayaan sumber energi yang ada di wilayah ZEE Indonesia penting bagi pembangunan dan kemajuan bangsa. Selain itu, jika terjadi konflik bersenjata di kawasan Laut Cina Sleatan, hal tersebut dapat meningkatkan premi asuransi kapal-kapal yang berlayar di kawasan dan menyebabkan kerugian di pihak Indonesia. Untuk sektor pertahanan dan keamanan, eskalasi ketegangan di Laut Cina Selatan telah "memaksa" Indonesia dan negara-negara di kawasan untuk memperkuat kekuatan militer mereka, terutama kekuatan angkatan laut. Hal ini telah menjadi topik pembahasan para akademisi dan analis sejak tahun 1990 dan menjadi topik yang hangat di abad ke-21 ini. Sebuah studi mencatat Asia mengalami peningkatan belanja alat utama sistem senjata (alutsista) sebesar 27% antara tahun 2010 dan 2014, utamanya untuk angkatan laut dan angkatan udara. Peningkatan belanja militer dan jumlah alutsista canggih dan mematikan di kawasan hanya akan memperbesar kemungkinan risiko terjadinya konfrontasi bersenjata di kemudian hari. Oleh karenanya menciptakan semakin banyak masalah di kawasan.
Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia memahami pentingnya kedaulatan sebuah negara atas perairannya. Sengketa Laut Cina Selatan memperlihatkan bagaimana sengketa batas-batas maritim dapat berdampak kepada kawasan. Indonesia sudah mengambil sejumlah langkah yang diperlukan terkait isu tersebut. Namun kehadiran strategi PMD dan pengembangan lima pilarnya menuntut Indonesia untuk memiliki rencana yang jelas akan langkah-langkah apa yang harus diambil untuk mendukung penyelesaian sengketa wilayah tersebut dan tetap melindungi kepentingan bangsa dan negara.
Di sisi lain, konflik ini melibatkan juga major powers dunia yang mana Indonesia memiliki hubungan dan kerja sama bilateral yang baik. Maka dari itu rencana tersebut harus memastikan Indonesia tetap berpegang pada kebijakan luar negeri bebas aktif dan tetap memainkan perannya di kawasan serta memastikan adanya saling menghargai di antara negara-negara yang bersengketa, baik secara bilateral maupun dalam kerangka kerja sama ASEAN. Pada saat yang sama, Indonesia, khususnya para pembuat kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan perlu memikirkan sejumlah rencana dan skenario yang mungkin terjadi jika konflik sudah bukan sekedar potensi belaka.
Daftar Pustaka :
Marsetio. (2014). Sea Power Indonesia, Universitas Pertahanan Indonesia
Marsudi, Retno L. P. (2015) Tantangan ASEAN, harian Kompas 10 Agustus 2015 hal. 7
Marsetio. (2018). Sengketa Laut Cina Selatan dan Implikasinya terhadap Indonesia. Universitas Pertahanan Indonesia.
Singh, Amit. (2012). South China Sea Dispute: Regional Issue, Global Concern, Maritime Affairs, Journal of the National Maritime Foundation of India. Vol 8(1): 117-118
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H