6.) Tokoh Semar, Gareng, Bagong dan Petruk merupakan simbol 4 (empat) jenis nafsu pada manusia, yaitu nafsu muthmainnah, lawwamah, sufiah, dan ammarah. Kesemua nafsu tersebut secara fitnah ada pada setiap diri. Namun, bila manusia ingin keselamatan hidup, maka nafsu muthmainnah harus menjadi pengendali atas ketiga jenis nafsu lainnya. Bila tidak, maka manusia akan tersesat oleh nafsunya sendiri. Hal yang sama pada tampilan keempat tokoh wayang diatas, menjadi indah dan penuh pesan tatkala hadirnya sesak Semar yang lebih dominan dalam interaksi ke empat tokoh tersebut. Dimensi ini perlu dimiliki oleh setiap pemimpin atas yang dipimpin dan semua manusia atas dirinya. Bukan sebaliknya, dominasi nafsu muthmainnah hilang oleh hempasan kuasa ketiga nafsu lainnya yang lebih berkuasa dan menguasai diri. Bila hal ini terjadi, maka hilanglah menilai kebijakan dalam semua kebijakan Yang dibuat dan perilaku yang ditampilkan.
7.) Semar seolah olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila berbicara nya salah Spontan, tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur sehingga orang yang sedi menjadi gembira. Demikian simbol sesak pemimpin meski derita dan kesedihan yang dirasakan, namun tak pernah iya terlihat kan pada orang lain. Bagai tampilan ayah dan ibu. Meski berat beban yang dipikul untuk membahagiakan anak anaknya, semua beban dan kesedihan disembunyikan agar tak diketahui anak anaknya. Mereka tak ingin rakyat atau anak anaknya ikut menangis. Mereka nikmati beban dan kesedihan untuk dirinya, asal rakyat atau anak anaknya senantiasa bahagia. Bukan sebaliknya, hanya ingin diri (berikut kolega) tersenyum dalam kemewahan, sementara rakyat atau anak anaknya menangis pilu dalam penderitaan.
8.) Pementasan wayang tak bisa dilepaskan dengan Iringan Gamelan. Gamelan merupakan musik pengiring pementasan ke empat tokoh yang diciptakan oleh Sunan Bonang. Bila dihayati dan didengarkan secara Seksama, irama Gamelan merupakan ungkapan Syahadatain. Wujud ini ketauhidan. Demikian sakralnya Gamelan, sehingga para pemainnya harus mampu menjaga Wudu dan fokus pada Irama Syahadatain, bukan pada “tembang” yang dinyanyikan. Tembang yang dilantunkan merupakan dinamika yang terjadi pada masyarakat dengan pesan pesan keagamaan dan sosial yang sarat nilai. Sosok pemimpin yang ditampilkan oleh Semar perlu pengiring (Gamelan) yang membuat gerak kebijakan tetap menyatu dalam asma Allah SWT. Gamelan yang mengiringi “pementasan” Semar merupakan simbol ulama yang tafaqquh fi ad-din secara kafah, Bukan sebatas tampilan aksesoris, untaian kata, atau keanggunan “rumah yang didiami”. Musik Gamelan mengingatkan Semar untuk senantiasa bermunajat mengingat Sang pencipta. Para pemain Gamelan (ulama) yang tetap “menjaga Wudhunya” agar senantiasa bersih dari noda (Zahir dan batin). Bukan sebaliknya, suara musik yang masuk (Para pembisik) yang meluapkan pemimpin dari kebenaran Ilahi, pemain musik yang tak pernah tersentuh air Wudhu (jauh dari Allah) dan irama musik yang melantunkan keserakahan dan kesombongan.
9.) Jiwa kesatria. Semar menampilkan Sasa kesatria dan sahabat yang peduli. Apa diucap tak perlu diragukan, bukan baling baling di atas bukit (munafik) katanya Santun penuh makna. Saling membantu dengan tulus, tanpa janji yang justru diingkari. Katanya adalah janji sebagai wujud karakter diri. Tak pandai bersilat lidah berbicara di sebaik niat tersembunyi. Bila ber tentangan Dengan aturan agama dan hukum ditentangnya tanpa tebang pilih. Idealisme diri yang tak pernah tergoda oleh kepentingan “politik belah bambu” yang serat kepentingan material. Saling menghargai sesama dengan kata yang pasti. Kebijakan dan janji yang bukan bagi “lempar batu sembunyi tangan” atau berlindung Idealisme yang sudah digadaikan.
Berikut ini 10 Wejangan Semar tentang Kehidupan Manusia Jawa Sejati:
(1) ojo ngaku unggul yen iseh seneng ngasor akeh wong liyo. (Jangan mengaku teratas atau kaya, jika masih senang menganggap orang lain di bawah atau tidak punya apa-apa).
(2) Urip iku Urup (Hidup itu menghidupi, memberi manfaat, memberi bantuan kepada yang kekurangan).
(3) Memayu hayuning bawana, ambarasti dur hangkara. (Wajib hukumnya memberikan keselamatan, kehangatan dan kesejahteraan serta membuang jauh sifat angakara murkah, serakah dan tamak).
(4) Datan serik, lamun ketaman, datan susah lamun kepangan. (Jangan mudah sakit hati saat musibah dan hasutan menimpah dan jangan sedih jika kehilangan sesuatu).
(5) Aja ketungkul marang kalungguhan, kadayan lam kemareman. (Jangan pernah terobsesi dengan kedudukan, materi, dan kepuasan yang bersifat duniawi).
(6) Ojo ngaku pinter yen durung biso ngoleki lupute awak dewe. (Jangan mengaku pandai jika belum bisa mencari kesalahan atau kekurangan pada diri sendiri).