Aku pernah hidup dalam rumah yang tak ramah.
Pun korban dari sayat yang tak berdarah.
Rasanya, bernapas saja salah.
Padanya, kukatakan pulangku adalah rumah.
Nyatanya, itu hanya alibi dari rasa marah.
..
Pulangku mungkin berbeda dengan pulangmu.
Tatkala rumah dipelupuk mata,
Saat itu juga aku dipaksa mematikan kataÂ
Pun rasa.Â
Nyamanku bukan ada pada megah.
Tapi pada ramah.Â
..
Saat rumah yang kuidamkan tak lagi ramah. Saat itulah aku marah. Rasanya ingin sudah, tapi menyayat diri sampai berdarah tak membuat sudah. Aku yang lemah, dipaksa pasrah. Harus nurut dengan 1001 perintah. Didepan mereka, seolah ramah. Padahal, selalu marah.Â
Jadi, saat aku tidak lagi lemah. Jangan marah, bila aku katakan pulangku bukanlah rumah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H