Politik identitas adalah salah satu fenomena yang semakin menonjol dalam proses pemilihan umum (Pemilu) di berbagai negara, termasuk Indonesia. Secara umum, politik identitas merujuk pada penggunaan identitas tertentu seperti agama, etnis, ras, atau golongan untuk memobilisasi dukungan politik . Fenomena ini tidak baru, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, politik identitas menjadi semakin dominan, terutama dalam konteks pemilu. Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena politik identitas dapat memecah belah masyarakat, menciptakan polarisasi, dan merusak demokrasi.Â
Salah satu alasan mengapa politik identitas menjadi alat yang efektif dalam pemilu adalah karena identitas bersifat emosional dan intim. Identitas merupakan bagian dari diri seseorang yang paling mendalam dan seringkali tak tersentuh oleh rasionalitas politik . Ketika kandidat atau partai politik mampu mengaitkan isu-isu politik dengan identitas pemilih, mereka dapat menciptakan ikatan emosional yang kuat dan sulit dipatahkan. Dalam hal ini, politik identitas berfungsi sebagai cara untuk membangun loyalitas politik yang sangat personal dan emosional, yang terkadang mengesampingkan pertimbangan rasional seperti kebijakan dan kinerja.
Di Indonesia, penggunaan politik identitas terlihat jelas dalam berbagai pemilu, terutama dalam pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Pemilu ini menjadi contoh yang mencolok bagaimana politik identitas digunakan secara terang-terangan untuk menarik dukungan pemilih. Isu agama dimainkan secara sengaja untuk menjatuhkan salah satu kandidat, yang kebetulan beragama minoritas. Dampaknya, terjadi polarisasi yang sangat tajam di masyarakat, di mana perbedaan politik berubah menjadi perbedaan identitas yang merusak kohesi sosial. Masyarakat terbelah tidak hanya dalam pilihan politik tetapi juga dalam segi agama, yang seharusnya tidak menjadi bagian dari perdebatan politik. Fenomena politik identitas ini kembali mengemuka menjelang Pemilu 2024, di mana isu-isu agama dan etnis kembali dimainkan dalam kampanye politik.Â
Meskipun politik identitas sudah lama menjadi bagian dari sejarah politik Indonesia, dampaknya kini lebih besar dan lebih mengkhawatirkan karena mampu memecah belah masyarakat dengan intensitas yang lebih tinggi. Polarisasi yang terjadi bukan hanya terkait dengan pilihan politik, tetapi juga memperdalam perbedaan identitas yang mengancam harmoni sosial dalam jangka panjang Salah satu dampak buruk dari politik identitas adalah bahwa cenderung memecah belah masyarakat. Ketika identitas digunakan sebagai alat politik, hal ini mendorong terciptanya "kami vs. mereka", di mana pemilih tidak lagi melihat perbedaan sebagai sesuatu yang wajar, melainkan sebagai ancaman. Polarisasi ini dapat memperkuat prasangka dan memperburuk ketegangan sosial, yang pada gilirannya menghambat terciptanya dialog dan kompromi. Dalam jangka panjang, polarisasi yang didorong oleh politik identitas dapat merusak pondasi demokrasi itu sendiri, karena demokrasi seharusnya mengedepankan pluralisme, inklusivitas, dan dialog antar berbagai kelompok Selain memecah belah masyarakat, politik identitas juga cenderung mengaburkan diskusi yang seharusnya lebih substansial tentang kebijakan publik dan kinerja pemerintah .Â
Ketika perdebatan politik didominasi oleh isu-isu identitas, isu-isu penting lainnya, seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan, cenderung terabaikan. Hal ini menyebabkan pemilu menjadi ajang kompetisi identitas, bukan kompetisi gagasan. Dalam kondisi seperti ini, pemilih lebih cenderung memilih berdasarkan afiliasi identitas mereka daripada berdasarkan analisis kritis terhadap program atau kebijakan yang ditawarkan kandidat. Dengan demikian, kualitas demokrasi menurun karena pemilu tidak lagi menjadi mekanisme untuk memilih pemimpin berdasarkan kinerja atau visi mereka, tetapi berdasarkan siapa mereka atau kelompok mana yang mereka wakili.Â
Namun, meski politik identitas memiliki banyak dampak negatif, beberapa pihak berpendapat bahwa politik identitas juga memiliki sisi positif. Dalam beberapa kasus, politik identitas dapat memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Di beberapa negara, gerakan politik identitas telah membantu kelompok minoritas untuk mengartikulasikan tuntutan mereka dan mendapatkan pengakuan atas hak-hak mereka. Misalnya, gerakan-gerakan hak buruh dan perlindungan lingkungan sering kali menggunakan politik identitas untuk mengangkat isu-isu ketidakadilan sosial dan memperoleh perhatian terhadap kelompok-kelompok yang rentan. Dalam hal ini, politik identitas dapat berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan hak-hak dasar, memperluas kesadaran publik, serta memastikan perlakuan yang adil bagi kelompok yang selama ini diabaikan atau tertindas.Â
Namun demikian, meskipun politik identitas dapat memiliki sisi positif, risiko penyalahgunaannya dalam konteks pemilu jauh lebih besar. Ketika politik identitas digunakan untuk memobilisasi dukungan dengan cara yang eksklusif atau divisif, ia dapat merusak tatanan sosial dan politik. Tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa identitas tidak digunakan sebagai alat untuk memecah belah masyarakat, melainkan sebagai cara untuk memperkuat inklusivitas dan pluralisme.
Untuk mengatasi dampak negatif politik identitas dalam pemilu, dibutuhkan peran aktif dari berbagai aktor, termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil. Regulasi yang lebih ketat terhadap penggunaan isu-isu identitas dalam kampanye politik mungkin diperlukan untuk mengurangi potensi polarisasi. Selain itu, pendidikan politik yang lebih baik bagi masyarakat juga penting untuk meningkatkan literasi politik dan membangun kesadaran tentang pentingnya memilih berdasarkan kebijakan dan kinerja, bukan semata-mata berdasarkan identitas. Media juga memiliki peran penting dalam menyajikan informasi yang seimbang dan tidak memicu polarisasi.
Pada akhirnya, tantangan terbesar dalam mengatasi politik identitas adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara pengakuan atas keberagaman identitas di satu sisi, dan menjaga kohesi sosial serta integritas demokrasi di sisi lain. Pemilu seharusnya menjadi ajang kompetisi gagasan dan kebijakan yang sehat, bukan ajang untuk memperkuat perpecahan berdasarkan identitas. Jika tidak, politik identitas akan terus menjadi ancaman bagi demokrasi yang sehat dan inklusif.
sumber
https://ejournal.uinsatu.ac.id/index.php/legacy/article/download/9122/2504
https://jurnal.arkainstitute.co.id/index.php/nautical/article/download/1096/810
https://jurnalfuda.iainkediri.ac.id/index.php/asketik/article/download/1163/925