Jakarta, ibu kota negara Indonesia yang lekat kaitannya dengan pembangunan. Tiap tahunnya, Jakarta terus melakukan pembangunan karena hal tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk yang tiap tahunnya kian bertambah.Â
Data dari Kemendagri menyebutkan bahwa terhitung sejak tahun 2021 terdapat sebanyak 11,24 juta penduduk yang menempati Jakarta.Â
Dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat tiap tahunnya, tentu pertumbuhan pembangunan menjadi nilai positif bagi kota Jakarta.Â
Tapi di lain sisi juga ada beberapa isu atau permasalahan yang harus diperhatikan dalam sisi pembangunan. Salah satu permasalahan pembangunan yang menghantui Jakarta ialah penurunan permukaan tanah.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebutkan bahwa Jakarta mengalami laju penurunan permukaan tanah mencapai 6 hingga 18 cm tiap tahunnya. Â
Pemberitaan media seperti BBC juga mengatakan bahwa Jakarta merupakan kota yang paling cepat tenggelam di dunia. Wilayah pesisir Jakarta telah terdampak dari akibat penurunan tanah tersebut, bahkan penurunan tanah yang terjadi telah sampai daerah Monas, Jakarta Pusat.Â
Hal tersebut menjadi suatu hal yang memperihatinkan bagi kota Jakarta. Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani, maka reputasi kota Jakarta dinilai buruk dari sisi pembangunan.Â
Penurunan tanah yang terjadi tentu mengindikasikan bahwa pembangunan yang ada mempunyai permasalahan terhadap lingkungan.
Permasalahan pembangunan di Jakarta diakibatkan beberapa aspek yaitu beban bangunan. Pembangunan yang ada di Jakarta telah terlalu banyak sehingga beban yang dihasilkan juga mengingkat. Gedung-gedung bertingkat menyumbang permasalahan terhadap turunnya permukaan tanah.Â
Di sisi lain, pemukiman di Jakarta juga tidak tertata dengan baik. Tidak mengherankan apabila Jakarta disebut sebagai kota dengan perencanaan perkotaan terburuk oleh salahsatu situs arsitektur, Rethinking The Futures (RTF).Â
Berkaitan dengan pembangunan pemukiman warga, karena buruknya tata kota, hal tersebut berimbas terhadap buruknya pengelolaan air tanah, sehingga hanya 65 persen warga jakarta yang menggunakan air bersih dan 35 persen warga jakarta masih menggunakan air tanah untuk kebutuhan sanitasi sehari-hari.Â
Selain itu, pembangunan terhadap lingkungan, yaitu ruang terbuka hijau juga tidak terlalu masif di Jakarta. Sejauh ini, ruang terbuka hijau yang ada di Jakarta hanya 9,4 persen dari luas lahan Jakarta. hal tersebut tentunya masih sangat jauh dari kata ideal yang mana ruang terbuka hijau pada suatu kota harus memenuhi luasan minimal 30 persen dari keseluruhan luas lahan.Â
Hal tersebut mengkhawatirkan dewan-dewan rakyat karena Jakarta bukanlah lagi sebagai kriteria ibukota yang baik disamping ada kepentingan juga di dalamnya.Â
Maka dari itu, pada malam sebelum sidang mereka mendiskusikan secepat kilatnya UU IKN (candi Roro Jongrang part II) agar bisa dinaikkan dan disahkan dalam sidang Paripurna yang dilaksanakan 18 Januari 2022 pukul 10.00 WIB. Sidang paripurna yang diketuai oleh ibu Puan Maharani dengan hasil persetujuan 8 partai (PDIP, Gerinda, Demokrat, Golkar, Nasdem, PKB, PAN, dan PPP) dengan penolakan 1 partai (PKS) serta ongkos IKN menelan 466 Triliun (dengan rincian 53,5% dari APBN dan 46,5% diluar APBN).Â
Secara tersurat, pihak pemerintah menyetujui pemindahan Ibukota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Namun, Â Koalisi penduduk Kaltim sendiri pun menolak karena dinilai cacat prosedural didalamnya dan mengecam tanah adat. Dengan demikian bagaimana mengatasi pendisintegrasian pendapat koalisi Kaltim dengan pemerintah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H